(46). PRO-M-A-TE

573 49 23
                                    

Part ini agak panjang, jadi tolong siapin posisi yang enak untuk bisa baca dengan tenang dan tentram. Happy reading! >,<

*

"Kenapa lo namain caffe ini El Cofffeshop?"

Senyum tersungging manis di wajah si laki-laki. "Dulu, gue pernah ketemu anak gadis jalanan, dia keliatan kelaperan sambil megangin perutnya. Gue yang lagi nemenin bokap buat kampanye akhirnya nyamperin dan kasih dia roti."

"....Eh, terus gak lama, gue ketemu lagi sama dia di taman. Gue lagi digangguin sama temen-temen gue. Ternyata dia masih inget gue. Dia tiba-tiba nolongin gue, ngasih plester karena muka gue luka. Pas gue tanya, dia bilang namanya 'El'"

"...Gue kagum banget sama El. Soalnya dia berani gigit tangan temen gue yang nakal itu. Sedangkan gue, cuma bisa diem aja, soalnya kalo gue bertingkah, nanti papa yang bakal jelek namanya."

*

"Woy!! ngelamunin apa sih?" teriak Aysha mengejutkan Salman. Jemari Salman yang tengah menyeduh latte itu tidak sengaja tersembur kopi panas. Pemuda itu meringis pelan.

"Eh, sorry... sorry..." Aysha panik. Tungkai mungilnya berlari memasuki pantry coffeshop. jejemari mungilnya mengambil tangan Salman, bibirnya maju beberapa sentimeter untuk mengembuskan napasnya, memberikan sedikit rasa sejuk dari sensasi panas yang dirasakan tangan Salman. 

Pemuda coklat itu tertegun. 

Berusaha mencerna segala situasi yang terjadi. 

Sedangkan Aysha masih saja sibuk meniup jemarinya yang lecet. Gadis itu kemudian menarik Salman, membawa laki-laki itu ke wastafel untuk menyiram jemari Salman dengan air mengalir.

"Lo lagian ngapain sih ngelamun," hardik Aysha. Sebelah tangannya menyelipkan rambut kebiruannya di telinga. Tato kupu-kupu di lehernya bergerak naik turun ketika lagi-lagi sang gadis meniupi jemarinya.

"Gue gapapa, Ay." Salman menarik jemarinya dari genggaman Aysha. 

Aneh.

Debaran yang biasanya muncul ketika bersama Aysha sudah tidak ada.

"Lo nanya apa tadi?" 

"Serius lo gapapa?" Aysha kembali memastikan. 

Salman mengangguk. Mata coklatnya itu memandang raut khawatir Aysha. Gadis itu selalu berusaha menjadi 'penyelamat' Salman.

Harusnya Salman kembali berdebar saat ini. Tapi sekali lagi. Salman tidak merasakan apa-apa. Salman tidak merasakan debaran seperti yang dia rasakan kemarin di kediaman Umar. Salman juga tidak merasa perlu salah tingkah di depan Aysha.

Gadis itu sudah kelewat tahu soal dirinya. Salman selalu merasa nyaman dan aman jika berada di sekitar Aysha. 

Apa hanya itu perasaannya?

Atau justru, karena itu? Karena terlalu nyaman, makanya dia tidak lagi merasa harus salah tingkah?

"Kalo masih lecet, nanti kasih salep." Aysha kembali berucap.

"Iyaaaaaa.... Bawell.." Salman membuang napasnya gemas. Ia merasa seperti anak kecil yang sedang diasuh oleh mamanya.

"Lo tadi nanya apa?" ulang Salman. 

"Muh." Aysha tampak celingak-celinguk, wajahnya menoleh ke kanan dan kiri, dengan dagu yang mendongak berusaha menjauhkan arah pandang. "Muh dimana?" 

Salman tersenyum. "Cie, yang baru jadian, nyariin mulu," ledeknya. "Gak bisa banget ya pisah sama pacar?"

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang