(32). Striatum

546 63 14
                                    

"Ternyata keras ya hidup seorang pendatang di negeri orang."

Entah sudah berapa lama hening yang tercipta, sudah berapa banyak langkah paramedis yang melewati mereka, dan sudah berapa ketukan detik yang terbuang di koridor rumah sakit. 

Dua siswa ahli kimia itu masih asik bergumul dengan pikirannya.

 "Ancaman diskriminatif." Aysha yang pertama kali memilih berkomentar setelah beberapa menit lenggang. Membayangkan betapa mirisnya kehidupan Rian—sang pendatang di Indonesia.

Muh mengangguk. "Apalagi kalo kita baca kilas balik kejadian 98, Ay. Dimana warga tiongkok yang saat itu sedang besar-besaran melakukan perdagangan di Indonesia justru tertindas oleh pribumi. Menjadi samsak kemarahan pribumi atas krisis moneter yang terjadi."

Aysha mengangguk-ngangguk. Pura-pura mengerti. Gadis ahli kimia itu sesungguhnya paling membenci pelajaran berbau hapalan bernama sejarah, meskipun ia tau sebesar apa urgensi pelajaran tersebut.

"Tapi ada juga kok orang-orang yang beruntung," sanggah Muh. "Umar contohnya."

Dahi Aysha terlipat mendengar nama Umar disebut.

"Iya, Umar itu campuran keturunan pendatang juga, Ay." Muh menjawab pertanyaan yang tampak di wajah Aysha. "Ayahnya lahir di Indonesia tapi kedua orang tuanya pure Tiongkok yang datang ke Indonesia pada masa pasca kemerdekaan, saat China lagi krisis akibat perang saudara."

Aysha baru mengetahui fakta tersebut. 

Ya, meskipun sebenarnya bisa ditebak dari garis wajah Umar, mata sipit, hidung mancung, kulit pucat—meskipun kuning langsat. Aysha luput selama ini karena pria itu selalu berkacamata.

"Ibunya asli dari Bandung, Ay. Makanya aura Aa' Bandungnya kuat." Muh menambahkan. Aysha ber-'oh' ria.

"Eh, by the way, kok lo bisa kepikiran manggil Umar?" Aysha tiba-tiba teringat pertanyaan di benaknya.

"Kejadian kayak gini gak sekali-dua kali, Ay." Muh memanjangkan kakinya pada lantai koridor, menggulur seluruh persendian yang rasanya sudah tegang. Menyamankan posisi duduknya.

"Mereka anak-anak terlantar yang berkelana di jalan. kadang mereka gak sengaja ganggu ketertiban jalan demi rupiah. Gue jelas butuh bantuan Umar si ahli hukum untuk ngurus—nyumpal mulut satpol PP mata duitan itu."

Rahang tegas Muh semakin terlihat kencang ketika menyebutkan kata 'Satpol PP mata duitan'. 

Yah, Aysha juga geram jika mengingatnya. Menyayangkan bagaimana ketidakadilan terjadi dalam negrinya. 

"Untung aja tadi Umar dateng tepat waktu. Gue gak punya waktu ngurusin mereka."

Kata 'mereka' yang dimaksud pasti merujuk pada Satpol yang diurus Umar tadi. Aysha mengangguk mengerti. 

Bukan sekali-dua kali ya?

Pantas saja, Muh sangat sat set mengurus hal seperti ini.

"Jadi ini bukan pertama kalinya mereka dateng ke sekolah?"

Muh menggeleng, "Ini pertama kalinya sampe disamper ke sekolah. Biasanya gue dapet info pas gue lagi ngunjungin mereka, ada aja satu-dua adik yang tiba-tiba ketangkep satpol, atau bahkan sakit."

"dan lo selalu nolongin mereka saat itu?"

Muh mengangguk. "Gak jarang Umar yang jadi tameng gue pas gue ngurus mereka di lapas ketika tiba-tiba ada penangkapan massal."

Aysha tidak bisa tidak terperangah mendengar kisah itu.

"Keren." Kata itu terucap spontan dari bibir Aysha. Gadis itu menggeleng takjub.

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang