(45). Sebelas-sebelas

336 49 40
                                    

"Lo sepinter apa?"

Salman terdiam mendapati pertanyaan mendadak dari Umar.

"Adek gue muak belajar di tempat bimbel. Lebih suka belajar di rumah, tapi dia paling benci belajar sama gue. Dia nyari guru privat, mau masuk kedokteran kayak lo."

"Gue denger-denger, lo buka jasa privat kan? Mau gak ngajarin dia?"

"Dia SMP tingkat akhir. Bentar lagi mau masuk APRI."

*

Semilir angin malam yang bertabrakan dengan dinding kedap suara menjadi pembatas kesunyian setiap malam tiba. Tapi sejatinya, malam tidak pernah sehening itu.

Seperti saat ini. Ketika jendela kamarnya diketuk tiba-tiba. Membuat jantungnya seakan jatuh saat otaknya secara sadar tengah fokus menyiapkan materi.

Salman membuka jendela kamarnya yang menghubungkan pada balkon.

"Diamuk Muh gue, kalo dia tau lo masih sering ke sini," omel Salman seraya mengacak rambutnya kasar.

Tubuhnya mundur dua langkah, mempersilahkan Aysha masuk ke kamarnya. Gadis itu hanya tertawa hambar seraya memasuki kamar Salman. "Enggak. Dia gak cemburuan."

"Gak cemburuan mata lo." Salman berbalik. "Di kolong aja, mukanya keras banget gara-gara lo ngobrol sama gue."

Aysha melambaikan tangannya ke udara kosong. Menghempaskan tubuhnya di karpet bulu bersandarkan tepian kasur. "Sorry ,deh."

"Ah gak asik lo, sekarang udah punya pacar yang cemburu-cemburu buta,"

"Gitu-gitu juga, dia bos lo." Aysha menjulurkan lidah. "Eh, lo dapet tawaran ngajar kan dari Umar?"

Salman mengangguk. Ikut terduduk di samping Aysha. "Kok lo tau?"

"Ada juga elo yang gak bilang-bilang ke gue," sungut Aysha. "Itu adeknya Umar ngedm radio gue, nanyain kontak lo pas gue promosiin lo sebagai guru privat. Cuma katanya dia mau izin dulu ke abangnya, pas tau ternyata dia adiknya Umar, gue ngasih kontak lo ke si Umar."

"Jadi ini gara-gara siaran lo?"

"Hm," balas Aysha singkat. "Kenapa? Mau bilang makasih? iya sama-sama."

Salman menampilkan gigi manisnya dalam cengirannya. Mengacungkan jempolnya pada Aysha. "Thankyouuuuu, my bestfriend."

"Betah-betah deh lo di sana ya. Kata Umar, ortunya jarang di rumah gara-gara sibuk. Makanya semua diurusin Umar."

"Siap ibu." Salman menaikkan empat jarinya di ujung alis, membentuk hormat.

Ada hening yang tercipta di tengah-tengah suara katak yang merongrong dan suara jangkring yang menggaung. Hewan-hewan malam yang hobi keluar terutama jika jejak hujan masih meninggalkan basah pada tanah merah di halaman rumah Salman.

"Btw, sorry ya soal di kolong." Aysha berdesis lirih.

Salman mengerutkan alisnya sedetik. "Kenapa?"

"Soal confession gue depan anak-anak."

"Oh.." Salman tertawa hambar. Ujung dadanya terasa ngilu seketika mengingat sebaris kalimat di ujung lidah Aysha sore tadi.

"Gue sama Muh jadian."

"Gapapa."

"Gapapa mulu lo. Pas berdarah-darah juga lo ngomongnya gapapa." Aysha menonjok pelan bahu Salman. "Belajar ngomong 'enggak' ketika situasinya emang gak nyaman buat lo. Kebaca banget dari raut lo yang beda tadi."

KANTAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang