Chapter 38 : Brown Alexander

616 20 0
                                    

Rome, Italy.

Elina memutuskan meninggalkan hotel di pagi hari setelah malam itu menunggu Sean berjam-jam yang tak kunjung datang kembali ke kamar. Ia berpikir pria itu marah dan tidak mau diganggu oleh siapapun sebab Elina sudah berusaha terus menghubunginya, namun Sean sepertinya sengaja mematikan ponselnya.

Pada akhirnya, Elina membulatkan tekad terbang ke Italia tanpa meminta izin Sean. Kedatangan ke Roma bukan semata-mata menjemput Blue untuk pulang bersamanya. Ia membiarkan menginap bersama mama Rachel— wanita yang selalu menganggap ia anaknya— sekaligus sahabat ibunya dulu.

Terlebih lagi Blue juga akan aman berada dengan keluarga Rathore yang dipenuhi pengawalan super ketat.

Ada satu hal yang tidak diketahui Sean bahwa pada setiap pertengahan bulan ada ritual wajib yang harus Elina rutin laksanakan. Aktivitas tersebut sempat tertunda karena sejak ia menginjakkan kaki di Barcelona setelah tahun baru, ia tidak bisa berkunjung kembali ke Roma.

Elina menghabiskan banyak waktu di Barcelona lalu ke Brooklyn. Dan pada saat ada waktu luang ketika di mansion, paspor yang ia miliki sudah disembunyikan oleh Sean.

Di siang hari yang cerah setelah mencari tiket penerbangan pagi menuju Roma, akhirnya Elina bisa kembali ke tempat yang ia rindukan. Sebuah taksi berhenti tepat di salah satu gerbang pemakaman umum yang sepi. Tak lama, Elina turun dari kursi penumpang lalu melangkahkan kaki berjalan pelan dan berhenti tepat di makam seseorang.

"Sayang....," Monolog Elina sambil berjongkok. Memandangi batu nisan berbentuk salib dengan hati pilu yang tersayat.

"Maafkan Mami baru bisa berkunjung hari ini."

"Maafkan mami belum bisa mengajak ayahmu untuk datang mengunjungimu," ujar Elina lirih. "Maafkan mami karena sudah menjadi ibu yang pengecut. Tapi percayalah, kau tercipta di dunia ini karena mami memang menginginkan dirimu, Brown. Ayahmu tidak tahu bahwa kau pernah ada di dunia ini. Maafkan mami, Brown."

Elina mengusap batu nisan yang bertuliskan Brown Alexander— anak laki-lakinya— lalu tangannya bergerak menaburkan kelopak bunga. Air matanya menetes begitu mengingat kematian Brown beberapa silam yang lalu. Penyesalan hanyalah penyesalan yang harus dijalani.

Saat itu Elina hanya bisa memaki Tuhan. Sampai sekarang pun, jujur dalam hati Elina belum bisa menerima kenyataan ini. Kehilangan buah hatinya setelah melahirkan. Apakah ini cara Tuhan menghukum dirinya atas kematian Mónica? Jika iya, balasan kesalahannya sangat tidak adil. Benar-benar tidak adil merenggut bayi tak berdosa.

Sementara malam yang sama, Sean memutuskan pergi dari hotel Le Bristol langsung menuju bandara dan melakukan penerbangan pada detik itu juga menuju Brooklyn. Namun sebelum jet pribadi mengudara, Sean sudah menghubungi Gaston— salah satu orang kepercayaannya— untuk terus memantau keberadaan Elina bahkan mengikuti kemana pun wanita itu nantinya pergi. Sean tidak bisa menutup mata untuk berpura-pura tidak peduli ketika nyawa istrinya diincar oleh bedebah gila. Yang sampai saat ini belum menemukan pelaku sesungguhnya. Melalui pengawalan Gaston, ia tetap bisa memberi penjagaan untuk istri tercintanya itu.

Setelah itu, Sean mematikan ponselnya agar tidak ada yang menganggunya termasuk Elina. Entah nanti wanita itu akan menghubunginya atau tidak, yang terpenting ia harus menenangkan dirinya sendiri. Ia perlu meredamkan emosi yang seketika muncul di permukaan.

Pikiran Sean terus menerawang. Ia memikirkan ada hubungan apa yang terjalin antara Julian dan Elina. Hubungan mereka terbilang sangat dekat sampai Elina membiarkan anaknya bermain seharian penuh dengan mereka. Bahkan dari hasil ia menguping tak sengaja saat membuka pintu semalam, Elina mengizinkan Julian membawa Blue pergi ke Roma tanpa izin lebih dulu dari wanita itu. Namun hal yang tidak disangka terjadi. Ternyata wanita itu tidak meraung-raung layaknya induk yang kehilangan telur. Elina menerima dengan lapang dada.

REVENGE DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang