Chapter 37 : Flashback bersama Mónica & Sean

776 24 0
                                    

"Elina, ayo temani aku pergi ke toko perhiasan sekarang juga." cecar suara perempuan yang langsung merocos begitu sampai di ruang kerja Elina pada siang hari kala itu.

Elina yang sejak awal fokus menulis langsung menghentikan kegiatannya, terpaksa mendongkak ke atas untuk melihat siapa yang menganggunya. Oh, suara berisik itu berasal dari Mónica ternyata.

"Kau tidak melihat aku sedang sibuk sekarang." Elina memperlihatkan beberapa cetak hasil rontgen milik pasiennya kepada Mónica. Semoga wanita itu paham menggunakan otaknya untuk berpikir, mengerti bahwa dirinya tidak dalam kondisi bisa diganggu berang sedetik pun.

Mónica melirik malas meja Elina yang begitu berantakan namun perempuan itu mana peduli. Di atas meja berantakan, berisikan dokumen pasien berupa cetakan foto rontgen seseorang yang memperlihatkan rongga dada, tempurung kepala otak, sumsum tulang belakang dan saraf lainnya. Segera ia menjauhkan pandangan dari meja. Lagipula matanya akan sakit jika memandang lama-lama gambar yang tidak dia mengerti. Otak kecilnya tidak akan berguna, mengenai susunan tubuh manusia yang rumit dan segala tetek bengkek dunia medis.

Mónica menghela napas panjang bersyukur, sebab Leonardo tidak perlu memaksakan dirinya yang tidak mau mengambil jurusan kedokteran saat sang ayah menyuruhnya. Terlebih spesialis yang diambil haruslah ahli bedah saraf. Dan ia lebih suka memilih jurusan administrasi bisnis. Pekerjaan yang Mónica ambil pun berdasarkan hal yang dia minati. Sang ayah mengizinkan Mónica menjadi model papan atas walau Leonardo sangat membatasi jadwal kegiatannya agar tidak kelelahan katanya.

"Hanya satu jam saja."

"I'am busy right now." Elina mengulangi perkataannya.

"Sebentar saja temani aku. Aku tidak suka pergi sendiri." Mónica tetap bersikeras.

"Jangan manja. Kau tidak bisa terus memaksakan kehendakmu. Aku bukan Papa yang akan menurut jika kau sudah merengek." Elina menyandarkan punggungnya ke kursi sambil melipatkan tangan di dada.

"Oh tentu saja aku bisa, Elina."

Dengan cepat Mónica meraih ponsel yang berada di dalam tas genggamannya. Elina berdecak dalam hati. Ia tahu betul siapa yang akan dihubungi oleh wanita itu.

Dasar wanita pengadu!

"Bisa tidak apa-apa jangan mengadu kepada dia. Sudah dewasa masih saja bertingkah seperti anak kecil." Elina mendengus kesal.

Dia yang dimaksud siapa lagi kalau bukan Leonardo, sang ayah kandung.

"Aku tidak punya pilihan selain menyuruh Papa memaksamu." kata Mónica sambil menekan nomor di layar.

Dering pertama, Leonardo pun langsung mengangkat panggilan dari putri kesayangannya itu.

"Ada apa, Mónica sayang?"

Suara lembut Leonardo terdengar sampai telinga Elina karena Mónica menghidupkan tombol speaker.

"Papá...," Mónica mulai merengek, mengadu dengan nada teramat sedih. "Sekarang aku berada di ruang Elina bekerja. Rencananya aku ingin mengajak Elina untuk pergi bersama akan tetapi sepertinya dia menolak tidak mau makan siang bersamaku. Aku harus bagaimana, Elina masih saja tidak menyukaiku?"

Elina memutar bola mata jengah mendengar kebohongan wanita itu.

"Berikan ponselmu kepadanya."

Mónica tersenyum penuh kemenangan sambil meletakkan ponselnya di meja kerja. Sementara Elina mengerjapkan matanya kesal. Sungguh pekerjaan sedang banyak. Ada banyak hal yang perlu ditangani. Tangannya pun bergerak malas mengambil ponsel wanita titisan medusa tersebut.

REVENGE DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang