Chapter 30 : Mencari pelaku

803 29 0
                                    

Dalam kondisi tertentu, Sean bisa menjadi orang paling jahat bahkan pembunuh berdarah dingin. Ia bisa melakukan tindakan di luar hukum.

Katakanlah sisi psikopatnya muncul secara tiba-tiba apalagi jika ada yang berani mengusik kehidupannya, bahkan membuat orang yang ia sayangi mengeluarkan air mata kesedihan. Ia akan mencari orang itu sampai ke ujung dunia. Sisi psikopatnya keluar sejak kematian Lavender Azalia Williams, adik kembarnya.

Pernah merasa kehilangan diusia limabelas, Sean melakukan segala upaya agar sang sopir tak bisa mendekam lebih lama, bahkan bernapas lama-lama di penjara.

Bekerja sama dengan sipir sel tahanan, Sean menukar obat jantung yang biasa dikonsumsi sang sopir dengan obat halusinasi dosis yang mematikan guna mendoktrin pikiran. Dengan begitu, pria brengsek yang sudah membuat Lavender mati, akan merasa cemas berlebihan dan dampaknya akan mengguncang hebat pada dirinya sendiri sehingga mengakibatkan sang sopir mengakhiri hidupnya dengan cara naas, gantung diri.

Setelah menyelesaikan pemakaman Claira, Sean melesat menuju gudang tekstil yang sudah lama terbengkalai setelah menjemput Tuan Ōkuma di hotel. Awalnya Sean enggan pergi bersama, namun kakek tua itu memaksa dan mau tak mau pergi bersama karena mempunyai misi yang sama yaitu menghabisi nyawa Massimo Saliba.

Namun bukan pengakuan yang Sean dapatkan setelah berhadapan langsung, melainkan penyangkalan terus menerus yang keluar dari mulutnya.

"Sudah kukatakan bukan aku yang melakukan penyerangan  dalam katedral. Aku tahu agama dan takut dosa." kata Massimo yang wajahnya sudah babak belur karena saat penjemputan di pelabuhan terjadi baku hantam dengan anak buah Gaston.

Geram, sebuah tonjokan keras mendarat lagi ke pipi Massimo bertubi-tubi. Kali ini Sean turun tangan untuk memberi pelajaran kepada pria brengsek di depannya. Kursi pun ikut tersungkur karena bogeman Sean terlalu kuat.

Luapan emosi Sean sudah meledak. Api kemarahan sudah berkobar di kepalanya.

"Bedebah kau! Berhenti mengatakan omong kosong yang kau sebut kebohongan. Kematianmu akan kupermudah tak kesakitan sama sekali jika kau berkata jujur."

"Percayalah bukan aku—"

Perkataan Massimo belum selesai karena tonjokan keras kembali menghantam wajah Massimo ketika mendengar kalimat yang sama terus diucapkan. Pria itu tak berdaya. Ia dipukuli bak samsak oleh Sean. Ingin membalas pun tak bisa karena tangannya terikat oleh tambang yang sangat kuat.

"Bukan aku yang melakukan penyerangan itu." Massimo kembali berkata. Ia akan terus beribu-ribu mengatakan hal yang sama karena memang bukan dialah pelaku atas penyerangan itu.

Sean semakin membabi buta melayangkan pukulan keras tepat di pipi kanan, kiri dan hidungnya terus menerus. Hingga wajah Massimo dipenuhi luka-luka tonjok dan banyak gigi yang hilang dari barisan gigi atas dan bawah.

"Terserah kau percaya atau tidak. Tapi memang bukan aku pelakunya," Massimo tetap bersikeras. "Bahkan jika kau ingin membunuhku dengan cara paling kejam, aku tetap mengatakan hal yang sama. Bukan aku yang melakukan penyerangan di katedral."

"Kurasa dia berkata jujur, Sean. Kau bisa berhenti memukulinya." Tuan Ōkuma berkata sambil menarik kemeja Sean untuk menghentikan tonjokan yang kembali menghantam hidung Massimo. Bisa dipastikan hidung pria itu retak tulangnya karena tinjuan keras Sean.

Sean kembali berdiri masih mengepalkan tangan yang berisi luapan emosi. Ubun-ubunnya masih mengeluarkan kepulan asap amarah ketika Tuan Ōkuma mendorongnya ke dinding untuk menjauhkan diri dari Massimo.

Gaston yang sedari tadi hanya berdiri di sudut pintu pun melangkah lebih dekat untuk membenarkan kursi Massimo kembali berdiri tegak.

"Cepat katakan. Jika bukan kau, siapa yang menyuruh anak buahmu menyerang hotel dan katedral?" Kali ini Gaston yang bertanya sambil menodongkan pistol tepat di dahi Massimo.

REVENGE DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang