Chapter 44 : Kesepakatan

606 15 0
                                    

Maafkan aku Mónica. Maafkan aku.

Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Di dalam kamar, di atas ranjang yang empuk, Elina bergerak gelisah menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mimpi buruk mengenai kematian Mónica entah sejak kapan mulai muncul lagi.

Hanya gumaman kata maaf yang selalu keluar dari bibir Elina.

Dalam sekejap Elina langsung membuka kelopak matanya perlahan, namun kegelapan masih menyelimuti. Tangannya bergerak cepat menyalakan lampu kecil di samping ranjang di atas nakas. Kejadian Mónica yang mati di tangannya membuat hidup wanita itu tidak tenang.

Elina seperti diteror rasa bersalah setiap malam. Sama sekali tidak ada kenyamanan saat memejamkan mata. Ia tidak bisa tertidur nyenyak.

Kini otaknya masih memutar sekelebat memori mengenai Mónica. Bayangan perut Mónica berlumuran darah semakin melekat dalam ingatannya. Hal itu semakin membuat hatinya dilanda kecemasan. Ia takut menjadi tidak waras jika terus seperti ini. Apakah ia harus kembali bimbingan ke psikiater untuk meminta resep obat tidur? Atau ia harus dipenjara agar menerima hukuman setimpal? Ataukah ia harus mengakui kesalahan pada Sean? Tapi, seingatnya ia sudah pernah mengaku pada Sean saat di Paris namun malah berujung percintaan panas seharian.

Ya Tuhan. Kenapa pula Mónica terus menghantui?

Elina terdiam, masih terbaring di atas kasur, enggan berpindah namun kepalanya berpikir keras memikirkan sesuatu. Sepuluh detik berlalu sekilas muncul ide dadakan. Ya, tidak ada cara lain dan sepertinya itu satu-satunya cara. Ia mau tidak mau harus menyempatkan waktu berkunjung ke makam Mónica selagi di Barcelona.

Mungkin dengan cara seperti itu, Elina bisa terlepas dari jeratan belenggu mimpi buruk yang disebabkan oleh Mónica.

Jam dinding terus berdetak seirama dengan deru hembusan nafas Elina. Ia masih diam sambil berusaha mengumpulkan sebagian nyawa, menatap kosong udara di atas langit-langit kamar bercahaya remang sembari mengeratkan selimut. Udara malam ini sangat dingin tapi entah mengapa sekujur tubuh wanita itu kepanasan dan bagian pelipisnya mulai mengeluarkan keringat.

Sedikit memalingkan muka ke arah jendela, bulan purnama tidak muncul malam ini karena kilauan cahaya tidak menembus jendela. Elina hanya mendengar gemuruh angin malam berderak kencang sampai menerbangkan tirai kamarnya. Mendadak terdengar suara lolongan hewan malam mengaum membuat bulu kuduknya berdiri dan meremang.

Oh, seketika Elina benci suasana mencekam seperti ini. Terlebih sekarang dia tidak menyukai tidur sendiri.

Mungkin karena kebiasaan, Elina jadi ketergantungan ketika Sean terbiasa menenangkan dirinya yang terjebak di alam mimpi. Dari alam bawah sadar wanita itu, terbesit sedikit harapan menginginkan Sean berada di sisinya. Seperti yang pernah Sean lakukan, Elina membutuhkan pria itu mengusap rambut, mengecup lembut dan mendekap erat dirinya saat mimpi buruknya datang.

Tidak dipungkiri Elina perlu Sean untuk menenangkan dirinya agar bisa tidur dengan nyaman. Ia tidak memikirkan banyak hal. Cukup satu hal yang perlu diketahui. Elina ragu dan malas mengakui, bahwa Sean adalah orang yang telah menjadi penangkal dari segala mimpi buruknya akhir-akhir ini.

He is my dream catcher.

Namun harapan itu segera Elina tepis saat nyawanya sudah terkumpul semua. Angan-angan indah itu harus segera dihempas sebelum meracuninya lebih jauh dan semakin tidak terkontrol.

Keyakinan Elina mengatakan dirinya dan Sean tidak bisa bersatu. Ia sudah bertekad akan berpisah dengan Sean dan memilih hidup bahagia bersama Blue.

Dengan segera Elina beringsut dari ranjang lalu melangkahkan kaki telanjangnya turun ke dapur. Di saat seperti ini ia butuh asupan walau dia sudah makan malam sebelum tidur tadi. Segelas susu hangat dan semangkok sereal sepertinya mampu mengembalikan perasaannya yang memburuk. Mengisi perut adalah solusi yang tepat.

REVENGE DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang