Brooklyn, Amerika Serikat
Akibat menonton rekaman kemarin tak membuat perasaan Sean lega. Berbagai perasaan baru berkecamuk malah muncul dalam varian lain. Kecewa, marah dan bersalah. Ketiga campuran itu menimbulkan suasana hatinya seperti berada dalam perjalanan penuh badai sampai tidak bisa melihat jelas karena terhalang oleh kabut tebal. Bukan hanya pandangannya yang memburam tapi pikirannya juga mendung berisikan awan gelap gulita.
Sebelum private jet mengudara, Sean telah menerima amplop putih berisi hasil tes DNA Blue yang sempat ia ajukan beberapa hari lalu.
Selesai makan es krim bersama, Sean mampir setelah berhasil membujuk bocah fanatik biru itu merapikan potongan rambutnya di salon khusus, lalu mengantar pulang terlebih dahulu dan melesat ke rumah sakit. Sean meminta bantuan pada adik sahabatnya Jayden yang bernama Nancy untuk menguji tes atas sampel kuku dan rambut Blue ke pusat genetika terpercaya.
Karena itu, Sean berniat menyetir sendiri dari bandara ke mansion. Sebagai atasan, ia menyuruh Benny menyetiri Elina dan Blue mengantarkan pulang.
"Kenapa tidak sekalian kau mengantar kami?" tanya Elina. Masih belum memahami akan apa yang terjadi pada Sean yang begitu dingin padanya.
Sama persis seperti pemakaman, Sean menjawab dengan nada ketus. Ia tidak ingin diganggu barang sedikit pun. Lebih tepatnya tidak ingin diganggu oleh siapapun termasuk rengekan istrinya barusan yang bertanya persoalan sepele.
Alih-alih menurut, Elina menjawab ingin terdengar sama ketusnya, namun yang keluar hanya suara wanita lemah nan serak. "Tidak perlu. Benny juga mempunyai keluarga sendiri yang harus dia urus. Aku bisa pulang sendiri."
Dalam dua pilihan di tengah-tengah prahara rumah tangga bosnya, Benny menarik napas lelah, tidak bisa memihak.
Elina memandang Benny yang nampak kebingungan. "Kau pulanglah. Lagipula pekerjaanmu bersama Sean sudah selesai, bukan?" Refleks Benny mengangguk cepat.
"Aku tidak apa-apa," lanjut Elina melirik Sean sebentar; Sean juga memandangnya, namun wajahnya sedingin ucapannya. Tidak ada senyuman. "Istrimu sudah menantimu di rumah. Habiskan waktu kalian bersama."
Hatinya sakit tentu saja. Suaminya bertindak acuh tak acuh namun Elina takut bertanya. Takut akan mempekeruh keadaan yang dia sendiri tak mengerti ada apa. Dari pada menganggu kandungannya, lebih baik ia memberhentikan taksi bandara yang untungnya lewat seusai dia berkata.
Dengan tenaga tersisa, Elina menahan sesak dalam dadanya. Ada Blue sedang bersamanya dan ia tidak boleh terlihat sedih.
Tidak berselang lama mobil yang dikendari Sean pun juga ikut meluncur. Tidak peduli akan perasaan sang istri.
****
Sesampainya di mansion, Elina dikejutkan oleh mobil sport jenis Porsche 718 terparkir sempurna di perkarangan. Sejak kejadian tempo hari lalu penampilan pria yang kini sedang menatapnya sangat berantakan. Rambut yang entah kapan diwarnai, dibiarkan panjang dan hampir menutupi dahi kepala. Serta bulu-bulu lebat menghiasi rahang dan membentuk kumis tebal, tidak melunturkan kharismatik seorang Julian Rathore.
"Uncle Lian."
Dengan penampilan seperti berandalan elite, Blue masih mengenali dan pergi menghambur memeluk Julian.
"Hei baby blue." Julian menggendong merapikan rambut Blue sambil terus memandang inti bola mata Blue yang memiliki warna serupa. "Do you miss me?"
"Of course." Blue tersenyum hingga memperlihatkan ada gigi seri bawah yang ompong satu biji. Sering makan manis Blue mengeluh sakit dan setelah dibawa ke rumah sakit, dokter gigi menyarankan mencabut giginya dan menyarankan mengurangi mengonsumsi makanan yang manis-manis.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVENGE DESIRE
RomanceCERITA INI MENGANDUNG UNSUR ADEGAN DEWASA, KEKERASAAN DAN KATA-KATA KASAR. BIJAKLAH DALAM MEMBACA! DARK ROMANCE 21+ | Sean yang sudah berusia 29 tahun, terpaksa menikah dengan wanita pilihan ayahnya. Pernikahan ini dilaksanakan atas dasar perjodohan...