Mungkin diriku ini memang jahat sebab jiwaku benar-benar telah sakit hati. Tersakiti akan cinta tak terbalas - Julian Rathore
**
"Otanoshimi kudasai." ucap ramah salah satu seorang pelayan ketika selesai menyajikan piring sushi dan mangkok ramen di atas meja yang sudah dipesan lima belas menit lalu."Ada menu lain yang ingin dipesan lagi?" kata pelayan lagi sembari meletakkan sumpit dan sendok di samping makanan mereka.
"Gochisousama deshita."
Julian mengucapkan terima kasih atas hidangan yang tersaji dan pelayan tersebut pergi setelah Julian mengatakan tidak memesan lagi.
"Kau ingin membicarakan apa?" tanya Julian memulai membuka obrolan dan berpura-pura tidak tahu apa yang ingin dibahas oleh Elina. Sebelumnya, mereka hanya berbicara seadanya membahas makanan yang akan dipesan lalu kembali hening.
Saat ini mereka tengah duduk di salah satu restoran jepang tidak jauh dari rumah sakit. Pada dasarnya mereka berkunjung bukan untuk makan.
"Jika aku bertanya sesuatu hal kuharap kau menjawab jujur, bisa?" tanya Elina berharap Julian mengaku.
Julian mengiyakan sembari memasukkan kedua tangan di saku celana. Mengaku secepat ini di depan Elina bukan bagian dari rencana.
Dasar Saliba keparat! Jika Máximo tidak bertindak gegabah, Julian akan berbicara empat mata dengan Elina nanti, menunggu waktu yang tepat. Tapi nanti patut digarisbawahi, nanti.
Elina memandangi Julian lekat-lekat, berbagai rentetan pertanyaan muncul menghiasi isi kepalanya. Apakah Julian juga orang yang menerornya selama ini melalui telepon? Apakah memang betul Julian? Mengapa Julian tega melakukan itu semua? Apakah Blue juga akan menjadi target selanjutnya? Jika dilihat dari ancaman yang diberikan, ancaman pertama berhasil dieksekusi dengan baik, kepala Felicia terkapar tidak bernyawa di depan mata.
Benak Elina masih meyakini Julian pria baik. Ia tidak pernah berpikir negatif sedikit pun mengenai Julian. Apalagi niat tidak baik dengan Blue itu sangat mustahil. Pria berusia 33 tahun itu mengetahui bahwa, bagi Elina Blue adalah orang yang berhasil membuat dia mau bertahan hidup sampai sekarang.
Berusaha menutupi kegelisahan melanda hati dan pikiran, Elina meneguk air putih dalam gelas di atas meja dengan rakus, mengisi tenggorokannya yang terasa kering kerontang.
"Semua yang dibilang Sean bahwa kau adalah dalang atas penembakan Felicia, apakah itu benar?" tanya Elina setelah menenggak minumnya sampai kandas.
"Sean keparat itu mengatakan fakta sebenarnya." jawab Julian lantang sama sekali tidak berniat berbohong.
Dalam hati, Julian merana dan merasa bersalah telah menyakiti hati Elina secara langsung. Nasi sudah menjadi bubur, sehebat apapun Julian menciptakan teknologi canggih, dia tidak bisa membuat mesin waktu agar memperbaiki kesalahan yang telah dia lakukan.
Kini perasaan menyesal tertanam dalam hati seorang Julian Rathore untuk Felicia dan juga Claira.
Elina memejamkan mata sebentar sembari menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskan perlahan. "Apa penyerangan di katedral juga?" tanyanya dengan suara bergetar. Ada perasaan cemas menghantam dalam diri Elina.
Julian tidak mengeluarkan suara sepatah katapun. Melalui sirna mata biru yang tampak gelisah itu menyiratkan segalanya. Seolah telah menjawab pertanyaan yang terlontar adalah benar.
"JAWAB AKU JULIAN!" teriak Elina menggebrak meja, dengan kedua tangan mengepal menahan segala kecamuk tidak nyaman yang sudah berkumpul di pori-pori kulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVENGE DESIRE
RomanceCERITA INI MENGANDUNG UNSUR ADEGAN DEWASA, KEKERASAAN DAN KATA-KATA KASAR. BIJAKLAH DALAM MEMBACA! DARK ROMANCE 21+ | Sean yang sudah berusia 29 tahun, terpaksa menikah dengan wanita pilihan ayahnya. Pernikahan ini dilaksanakan atas dasar perjodohan...