Chapter 24 : Ciuman minta maaf

1.4K 30 0
                                    

Sudah tiga puluh menit Elina di dalam ruangan imigrasi. Tapi selama itu pun belum ada tanda-tanda masalah sidik jari akan ditindaklanjuti. Petugas lain hanya berkutik di depan komputer entah apa yang sedang mereka kerjakan. Namun tatapan Elina beralih ke pria berseragam rapi layaknya seragam maskapai sedang menghubungi seseorang di sudut ruangan sambil sesekali meliriknya seolah memastikan Elina tidak akan pergi kemana-mana.

Ada yang janggal, Elina melirik plakat nama kayu terukir nama Jordan Morris dengan tulisan sambung di atas meja dan sebuah foto yang terpajang di sana. Elina menghela napas berat lalu datang menghampiri pria tersebut.

"Permisi, Mr. Morris, tidak bisakah kau berhenti menelpon lagi dan lakukan tugasmu menginterogasi segera karena sedikit lagi pesawat yang aku tumpangi akan lepas landas tiga puluh menit lagi," kata Elina dengan nada ketus. "Aku tidak mau membuang waktu lagi karena pelayanan buruk dari kalian yang tidak professional."

Jordan Morris menengok sekilas menatap Elina yang rewel. Pria itu mematikan ponsel sepihak lalu memasukkan kembali ke saku celana.

Sambil berjalan menuju kursi kebesaran, Jordan pun berkata. "Tenanglah Nyonya... maaf dengan siapa saya berurusan."

"Bahkan kau belum membuka pasport yang sedari tadi ada di meja sehingga namaku saja kau tak kenal." Elina menggeram kesal. "Bagaimana sistem cara kerja kalian menangani hal seperti ini?"

"Berhenti mengoceh hal yang tidak perlu, Nyonya. Bisa langsung kau jelaskan kenapa sensor sidik jari Anda tidak terdeteksi?"

"Seharusnya itu pekerjaan yang harus kau lakukan untuk mencari tahu. Kurasa sensor jari di bandara kalian rusak. Atau perlu diganti yang baru."

"Itu tidak rusak, Nyonya. Sudah kami jamin 1001% karena hanya sidik jari Anda saja yang mencurigakan. Anda tidak melihat penumpang di depan Anda tidak masalah saat pengecekan sensor jari." balas Jordan Morris tak kalah ketus. "Berarti Anda yang bermasalah."

"Tidak mungkin," sahut Elina seraya menggelengkan kepala. "Kau bisa mengecek ulang sidik jariku di sini sekarang juga," desak Elina sambil mengulurkan tangannya di atas meja. "Cepat lakukan, Mr. Morris. Pegawai Anda di ruangan ini banyak tapi tidak sedikitpun yang langsung menanyakan identitasku dan melakukan scan sidik jari ulang kepadaku. Apa prosedur yang Anda lakukan sudah tepat? Rupanya kalian makan gaji buta." balas Elina tajam karena muak.

"Aku sudah menjalankan prosedur dengan benar, Nyonya. Tak usah kau mengajari kami. Pegawai maskapai pun tidak bertindak gegabah karena menunggu arahan dari pemilik maskapai yang akan datang langsung menginterogasi wanita yang berpenampilan layaknya buronan kabur." ujar Jordan Morris tetap tenang, tetap mengarahkan fokus pada sang wanita yang ada di depannya.

Dari balik kacamata hitamnya, Elina memandangi pria tersebut untuk beberapa saat dengan tatapan kesal. Dalam benaknya mulai berpikir sepertinya ada yang mencurigakan. Ia tetap duduk tenang sambil membaca pasport yang tak disentuh oleh Jordan Morris untuk memastikan kejanggalan yang ia rasakan. Ketika ia melihat nama maskapai pada tiketnya, prasangka tidak baik mulai muncul bertebaran.

Sabotase sidik jari ini hanya dijadikan alasan untuk menahan dirinya di bandara.

Elina tetap memasang wajah cukup tenang namun ia menahan kegelisahan di dalam hatinya.

"Sepertinya kau sedang mengulur waktu untuk menunggu seseorang datang. Apakah itu benar, Mr. Morris?" tanya Elina nyaris mendesis dan tepat sasaran.

Dugaan Elina Benar. Bahwa pria itu sedang menunggu Steve Robinson— salah satu sahabat Sean, yang tak lain adalah pemilik maskapai yang akan ditumpangi Elina, Robinson Airways.

Elina membuka kacamata hitamnya, sedikit menurunkan masker sampai dagu. Melihat respon pria itu tidak kaget sudah membuktikan kebenaran. Seketika Elina mengepalkan tangan karena merasa dibodohi dan memilih beranjak dari kursi meninggalkan ruangan. Ia menarik stroller Blue di samping meja kerja petugas wanita lalu berjalan terburu-buru kearah pintu keluar. Saat ia ingin meraih kenop— pintu sudah dibuka dari luar oleh seseorang. Elina berdiri mematung melihat dua sosok pria sedang berdiri di ambang pintu.

REVENGE DESIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang