56. Mengenal Bersama

201 6 0
                                    


"Terkadang, apa yang tak dianggap oleh kita akan menjadi bagian yang berarti dalam hidup kita." 

Empat bulan telah berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat bulan telah berlalu. Kini Laila sedang merapikan kamar dan menyapu lantai. Ia meregangkan tubuh sekilas lalu melanjutkan kegiatannya. 

Hafidzah di ruang tamu mengecek ponsel dan mendapat kabar gembira. Ia pun senang sehingga berlari menuju kamar Laila. 

Hafidzah berulang kali mengetuk pintu kamar Laila dengan cepat. "La? Laila!" panggilnya.

Merasa penting, Laila pun membuka pintu sembari membawa sapu. "Iya, Bu?" tanyanya ramah.

Hafidzah menaruh ponsel di sakunya lalu memegang pundak Laila. "Hisyam pulang sekarang, Nak. Ayo, kamu siap-siap. Mandi dulu."

Laila bengong. Beberapa detik kemudian ia menaruh sapu di dalam kamar dan mengambil handuk serta baju untuk ia pakai setelah mandi. "Bu, aku mandi dulu!" teriaknya.

"Iya, La. Cepat, ya." Hafidzah menaruh beberapa barang yang sekiranya diperlukan ke dalam tas. Tentunya ponsel dan kabel charger.

Selesai mandi, Laila buru-buru pergi ke kamar dan memakai kerudung hitamnya. Gamis putih susu dan kerudung hitam sangatlah cocok pada Laila. Itu setelan favoritnya selain warna cokelat.

Laila keluar kamar dengan membawa tas selempang hitam, menutup pintu, kemudian berbalik pergi menghampiri sang ibu. 

"Bu, ini kenapa kita harus siap-siap? Hisyam memangnya ada di mana?" tanya Laila penasaran.

"Ada, deh. Kamu pasti seneng. Ayah lagi ada urusan jadi gak bisa ikut. Kita dijemput keluarga Hisyam ke sana," jelas Hafidzah.

Laila mengangguk patuh. "Baik, Bu." 

Tak lama kemudian mobil Hisyam parkir depan rumah Laila. Serentak Laila dan Hafidzah berlari keluar menyambut keluarga Hisyam dan Hisyam sendiri. Hisyam pun turun dari mobil.

Hisyam memberi isyarat agar kedua orang tuanya tetap di mobil, kemudian ia menghampiri Hafidzah dan Laila yang menundukkan kepalanya. Hisyam memakai sorban putih dan jubah putih ala santri.

"Assalamualaikum. Ijin nanya, Bu. Pak Thariq ke ada?" ucap Hisyam dengan sopan.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Bapak sekarang lagi ada urusan jadi gak bisa ikut," balas Hafidzah.

Hisyam mengangguk paham. "Hm, baik kalau begitu. Ayo, Bu, Laila ... kita berangkat."

"Iya, Nak." Hafidzah berjalan menyusul Hisyam sementara Laila berperang dengan hatinya. Laila akhirnya melangkahkan kakinya. Tak dapat dipungkiri bahwa ia rindu. 

Hisyam membukakan pintu mobil untuk Hafidzah dan Laila masuk. Di dalam terdapat ayah Hisyam dan Hisyam sendiri. Ibu Hisyam sudah berada di lokasi.

Sepanjang perjalanan, Laila mencoba menerka-nerka dengan berpura-pura melihat ke luar jendela. Ia menopang dagunya. Selang beberapa menit, mobil berhenti. Hisyam keluar dan membukakan pintu untuk Laila dan Hafidzah keluar. Laila keluar dan menganggukkan kepalanya sekilas sebagai tanda terima kasih. Laila takjub melihat bangunan masjid di depannya. Masjid megah berwarna putih dengan pilar-pilar tinggi. Cocok untuk menjadi tempat pernikahan.

Lailatul Qadar(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang