[3]

296 43 1
                                    

Danya menghabiskan banyak waktu di laboratorium komputer sekolah. Pekerjaannya cenderung ringan. Dia memperbaiki beberapa komputer yang rusak, melakukan pemrograman dan—apabila diperlukan—membantu siswa-siswi memahami tentang ilmu komputer. Danya akan di sana sampai para murid pulang. Walau begitu, kegiatannya hanyalah duduk, membaca dan memandangi monitor.

Sore itu, ketika hampir semua murid sudah meninggalkan sekolah, Nada mulai memasuki laboratorium komputer-1. Tempat di mana dia akan menemui Danya. Sebelum dia membuka pintu laboratorium, dia berhenti sejenak di depannya. Alih-alih memikirkan kasus pembunuhan Dokter Alferd, Nada lebih banyak memikirkan Danya hari ini. Kejadian tidak terduga secara spontan terjadi; berpura-pura memiliki hubungan spesial dengan staf IT muda itu. Rasanya aneh dan canggung sekarang.

Gadis itu mengembuskan napas kasar. Dia membuka pintu pada akhirnya. Danya ada di sana, tengah duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan komputer. Dia tersenyum ke arah Nada. Nada berusaha tidak membalas senyuman itu dan tetap memasang ekspresi datar. Tetapi, menatap senyuman itu membuat jantungnya berderu kencang. Bahkan dia sendiri dapat mendengarnya dengan jelas.

"Apa yang ingin kautanyakan?" Danya berterus terang.

Nada masuk ke dalam. Dia menutup pintu.

"Apa ini masalah 'berpura-pura dalam hubungan spesial'?" sambung Danya.

Nada menggeleng. Dia tetap mengalihkan pandangannya. "Bukan."

"Oh, ya, bagaimana hari ini? Olivia melakukan sesuatu?"

"Tidak," balas Nada. "Atau kurasa belum."

"Sebelum dia benar-benar melakukannya, kutanya sekali lagi, apa kau yakin?"

"Aku... kasihan padamu." Nada menelan salivanya.

Danya tertawa. "Baiklah. Terserah kau saja. Kupikir ini seru juga."

Seru bagaimana? Nada mengembuskan napas kasar—lagi dan lagi. Dia berjalan mendekati Danya. "Aku ingin meminta pendapatmu tentang kasus Dokter Alferd."

"Aku?" Danya menuding dirinya sendiri. "Kau... benar-benar tidak memiliki teman untuk membahasnya, ya?"

Ya. Memang pada dasarnya, Nada tidak memiliki teman sama sekali. Dia tidak memiliki 'John Watson-nya' untuk membahas kasus yang menarik perhatiannya ini. Mungkin, dia dapat berbicara pada Erick dan gerombolannya. Tetapi mereka sinting. Dilihat dari sisi mana pun, Danya lebih waras dan lebih masuk akal bicara dengan orang waras.

"Kau mengatakan bahwa terkadang kau tahu sesuatu," kata Nada. "Kau juga dapat menyimpulkan dengan logis," kata Nada.

"Aha... Jadi, apa yang ingin kautanyakan padaku?" tanya Danya.

Nada merogoh ponselnya dari dalam saku. Dia menampilkan kembali foto-foto mayat Dokter Alferd yang dia ambil tadi pagi. Dia menunjukkannya pada Danya. "Kau bisa melihat bahwa sepertinya Sang Pelaku menargetkan alat kelamin korban—serta pahanya."

Danya meraih ponsel itu. Dia mengamati gambar itu lagi. Sejak pertama kali melihat gambar itu, Danya langsung tahu. Target utama pelaku adalah alat kelamin korban dan pahanya yang dihancurkan. Bagi Danya, itu seperti dihantam bertubi-tubi dengan benda tajam. Seperti dikoyak-koyak dengan pisau. Atau mungkin, pisau yang diayun-ayunkan di sana. Danya pun menyatakan asumsinya. "Selain itu, dia juga menargetkan perut. Ini yang paling mencolok. Ususnya berceceran."

Nada menelan salivanya. "Menurutmu, apa tujuannya?"

"Alat kelamin berkaitan dengan masalah seksual. Jika begitu, maka pembunuhnya adalah orang yang memiliki masalah seksual dengan korban. Dan alasan paling kuat untuk membunuh—menurutku—adalah dendam. Jadi kemungkinan, dia dendam atas masalah seksualnya. Jika begitu, mungkin pelakunya adalah orang yang pernah dijahati secara seksual oleh korban."

The Killer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang