[32]

154 22 10
                                    

Lagi-lagi, tidak dapat terendus. Seorang anak kembali mengirimkan surat itu ke mansion Mitchell. Dia masih sangat kecil sehingga tidak tahu bahwa pihak kepolisian menyuruh para anak-anak di lingkungan sana untuk melapor apabila ada orang yang menyuruh mereka mengirim sesuatu ke mansion. Tetapi, sekali lagi pihak kepolisian kecolongan. Sang Pembunuh memanfaatkan kepolosan anak-anak dengan iming-iming permen murahan yang dapat dibeli di setiap toko di kota besar itu.

Tuan Yuzak kembali memberikan surat itu kepada Tuan Ramon. Tetapi, Sang Kepala Kepolisian itu tidak berminat membacanya karena dia sudah tahu kisahnya.

Penculikan terhadap Sofiya merupakan langkah yang salah. Tetapi, Tuan Yuzak berfikir bahwa dia harus melakukan sesuatu kepada Sofiya. Jadi, dia memutuskan untuk memata-matai perempuan itu tanpa menyentuhnya. Dia memerintahkan anak buahnya untuk mengawasi Sofiya dari kejauhan. Sebab, dia sendiri paham bahwa sesungguhnya Sang Pembunuh merupakan orang yang berinteraksi dengan Sofiya—atau mungkin perempuan itu sendiri. Jadi, dia akan menelaah siapa pun yang memiliki kedekatan dengan Sofiya. Hal tersebut tidak dilakukan oleh tim kepolisian. Melainkan anak-anak buah pribadi Tuan Yuzak.

Surat-surat itu diketahui pula oleh anggota keluarga yang tersisa; Ilya, Gial—atau kerabat lain; misalnya Hardin yang tentunya hanya mendengarnya dari cerita panjang lebar Ilya.

Ilya membaca surat itu pula. Dan ketika kakeknya bertanya, siapakah yang paling memungkinkan menulis cerita bersambung itu, Ilya menjawab tidak tahu.

"Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu." Dia terkikik di dalam perpustakaan, pada sebuah malam yang hening. Sepi. Tidak ada suara apa pun kecuali suaranya sendiri. Hanya ada kegelapan. Lampu hanya menyorot tubuhnya. Ilya berdiri dengan lemah. Memandangi gambaran wajahnya sendiri yang masih terbingkai dengan figura berlapis emas; sebuah gambaran yang dia dapatkan bertahun-tahun lalu ketika ulang-tahunnya dari Sang Alice.

Ilya selalu melihat Alice bahkan ketika dia terlelap sekali pun. Kenangan tentang Alice tidak pernah luntur dalam benaknya. Alice adalah cinta pertamanya—dan mungkin pula cinta terakhirnya. Yang dia cintai sampai ajal menjemputnya.

Pemuda itu mengembuskan napas panjang. Memang aneh rasanya ketika usia baru 22 tahun, tetapi sudah memikirkan banyak hal tentang kematian. "Aku merasa bahwa ajalku sudah dekat."

Dada Ilya terasa sangat sakit. Dia tidak kuasa menahan rasa sakit itu sehingga memaksanya ambruk dengan lutut tertekuk di lantai. Dia memegangi dadanya sembari meringis. Dia juga menjatuhkan bingkai gambarannya sehingga kacanya pecah. Napasnya tersengal-sengal. Dia berusaha menyusun kembali pecahan kaca itu seperti sedia kala dengan satu tangan memegangi dadanya. Satu hal yang membuatnya bersyukur; bahwa gambarannya tidak rusak. Tidak masalah. Dia akan membeli bingkai figura yang lebih bagus lagi.

"Bisakah kau menolongku?" kata Ilya. Terhenti sejenak karena tersengal-sengal. "Jika aku mati nanti, aku ingin membawa ini."

Hardin tidak menjawabnya. Dia hanya berdiri beberapa meter di hadapan Ilya sembari terus mengisap rokoknya. Tetapi, dia menyetujuinya. Dia akan mengatakan pada keluarga bahwa Ilya ingin membawa gambaran murahan dari Sofiya ke liang-lahatnya.

Ilya menahan napasnya sejenak. Dia merasa bahwa dia tidak pernah merasakan rasa sakit seperti itu sebelumnya. Semakin lama, rasa sakit itu semakin menjadi. Tetapi, dia tidak akan melapor ke kakeknya untuk mendapatkan penanganan yang lebih baik lagi. Karena dia merasa bahwa semuanya tidak ada gunanya lagi.

"Maafkan aku, Hardin," kata Ilya lagi.

"Yah, memang kurasa, kita harus memaafkan orang yang hendak mati supaya mereka bisa mati dengan tenang." Hardin angkat bicara pada akhirnya.

***

Nada memiliki kenalan yang bekerja di ensambel tempat di mana Sofiya melatih violin. Dia pernah mengajar ekstrakurikuler tari pada saat Nada masih SMP. Tetapi, pada akhirnya dia berhenti setelah mendapatkan posisi yang bagus di ensambel itu. Walau tidak berasal dari ekstrakurikuler tari pada saat SMP, Nada—yang dahulu sebelum kematian ibunya adalah gadis yang ramah dan dikenal banyak orang—cukup mengenali perempuan awal tiga-puluhan itu. Mereka sesekali juga berjumpa di jalan dan perempuan itu mengatakan bahwa Nada bisa mampir ke ensambel jika dia berminat. Siapa tahu, hasratnya untuk bermain violin kembali bangkit. Jadi, dia memanfaatkan ajakan itu untuk mengorek informasi tentang Sofiya dari pelatih itu.

The Killer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang