[54]

189 15 11
                                    

Satu kalimat yang sering Daniel ucapkan; "Ini sangat seru, Bangsat."

Danya menatap parasnya sendiri di hadapan cermin wastafelnya. Tangannya terkena darah Olivia karena dia memegangi handy-cam yang tadi dibawa Nada dan gadis itu sendiri berlumuran darah. Dia mencuci tangan-tangannya yang ternoda. Secercah senyuman miring terukir di bibirnya. Dia menggigit bibir bawahnya dan semakin lama semakin melebarkan senyumannya menjadi kikikan perlahan.

Dia sangat bersyukur kepada Tuhan. Dia tercipta dengan paras yang mampu menghipnotis hampir semua orang. Netranya yang sejernih samudra, kulitnya yang seputih porselen pucat, pipinya yang seperti kelopak mawar—yang mengambang di atas sekolam susu, serta ditaburi satu dua titik wijen yang mengkilap. Oh, dia melupakan warna rambutnya yang terang. Tetapi, dia mengecatnya menjadi gelap—entah kenapa. Dia mengusap wajahnya dengan tangan-tangannya yang berurat. Dengan tangan yang sama, dia meraih sesuatu dari saku kemejanya; sebuah cincin emas putih yang mengkilap. Lantas, dia mengenakannya di jari manis tangan kirinya dan menciuminya dengan lembut.

Sosok Daniel Ruth memang dapat menghipnotis semua orang, mengendalikan semua orang. Kecuali satu; Sofiya.

Dia kembali melayang ke masa-lalunya yang runyam.

Daniel Ruth tidak pernah tahu siapa dirinya. Dia tidak pernah tahu siapa orang-tua kandungnya. Dia berkali-kali ganti orang-tua. Bahkan, dia tidak tahu siapa nama aslinya. Alexandr, Alexandr Yeltsin, Daniel Ruth, atau siapa?

Dia sepertinya memiliki amnesia disosiatif saat masih sangat kecil dulu. Seolah-olah dia baru memulai kehidupannya saat usianya sekitar empat atau lima tahun. Tetapi, bukankah seharusnya ada kenangan yang tersisa—walau hanya sedikit—sebelum usianya saat itu? Tetapi, semuanya terasa kosong. Jadi, dia sendiri selalu mengatakan bahwa dia tidak tahu siapa dirinya, bahwa dirinya tidak jelas.

Dia menemukan tubuhnya yang penuh luka, kepalanya yang terperban dan semuanya terasa remuk. Rasa sakit menjalar di setiap inci di tubuhnya. Yang dapat dia lihat hanyalah sebuah ruangan yang bercat putih dengan cat-cat yang mengelupas. Aroma obat serta infus merasuk dalam indra penciumannya.

Saat itulah, dia melihat Joseph—ayah Alexander—bersama dengan perempuan-perempuan berpakaian hitam putih. Salah satu dari perempuan itu memeriksa netra Danya dengan senter kecil di genggamannya yang dilapisi sarung-tangan lateks. Itu adalah pertama-kali baginya melihat lateks. Hingga pada akhirnya—bertahun-tahun setelahnya—dia juga menggunakannya untuk kepentingan lain.

Orang-orang ini bercakap-cakap. Tetapi saat itu Danya belum tahu apa yang mereka katakan. Dia tidak mengerti. Yah, dia tidak mengerti verbal. Hanya saja dia menyimpan beberapa potong kata yang dia ingat kembali ketika dia sudah memahami verbal. Intinya, dalam percakapan itu, Joseph mengatakan, "aku akan membawanya saja", "tidak mungkin dikembalikan", "dia tidak mengingat apa pun", "amnesia?", "dia seusia putraku. Kasihan jika dibiarkan".

Dari semua ingatan samar itu, Danya menyimpulkan bahwa Joseph menemukannya ketika pria itu sedang menjalankan ekspedisinya mengantar narkoba, kemudian dia merawatnya karena kasihan. Danya seusia putranya. Mungkin, naluri keayahannya timbul.

Danya tidak pernah bertanya apa pun—atau mungkin sempat bertanya. Dia belum bisa lancar berbicara ketika Joseph ketahuan ditangkap intelejen negara dan dipenjara.

Semuanya misteri.

Satu-satunya yang tersisa dari masa-lalunya adalah sebuah kartu identitas anak-anak yang bertuliskan "Alexandr Yeltsin". Kartu identitas itu berasal dari panti asuhan di daerah Slavia yang ditulis dengan aksara kiril. Dengan kartu itu, Joseph juga memanggilnya Alexandr. Putranya juga Alexander. Ejaan itu sama. Jadi terkadang, Danya bingung siapa yang dipanggil oleh Joseph. Apalagi dia tidak dapat memahami apa yang Joseph katakan. Hidupnya rumit. Apalagi setelah Joseph ditangkap. Dia ikut Keluarga Faulkner selama beberapa saat, lantas diminta oleh Nyonya Ruth.

The Killer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang