[63] END

383 16 9
                                        

Sang Alice benar-benar mendapatkan kehidupan yang baik setelah dia mendapatkan keadilan yang ditegakkan oleh Sang Hakim.

Setelah dia lulus dari kuliahnya, dia mendirikan les lukisnya. Selain itu, dia masih mengajar di ensembel. Dia juga masih menulis resensi dan review buku dengan akun yang sama yang dia buat dengan Sang Pembunuh dahulu. Dia mulai terbuka dengan orang lain. Dia mulai berinteraksi dan berbicara pada pria-pria asing. Tetapi, pada akhirnya pria-pria itu akan menjauh ketika menemukan sebuah cincin melingkar di jari manis tangan kirinya.

Sofiya menjalani kehidupannya yang begitu selama tiga tahun setelah kelulusannya. Setelah itu, dia memutuskan untuk pindah dan mengajar di sebuah akademi kesenian di tempat yang jauh—setidaknya, itulah yang dia katakan pada ibunya serta kerabat-kerabatnya. Dia berjanji akan selalu menghubungi setiap waktu dan akan kembali jika ada waktu.

Aneh. Dahulu, dia bermimpi memasuki jurusan psikologi klinis dan menjadi psikiater. Tetapi setelah kurang dari sepuluh tahun (mungkin delapan tahun) dia menemukan jalan yang jauh berbeda dari tujuannya.

Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Dia menemukan banyak hal di dalam hidupnya. Kesedihan dan kebahagiaan. Duka dan cinta.

Yah, cinta.

Dia tidak pernah membayangkan—setelah kejadian di malam tahun baru itu—bahwa dia akan jatuh cinta dan memiliki hubungan spesial dengan seorang pria. Dia merasa saat itu dia sudah berakhir. Dia akan mati. Tetapi nyatanya, takdir membawanya sejauh ini.

Pesawat yang dia tumpangi turun di bandara sebuah negara Slavia. Perempuan itu mengembuskan napas panjang. Dengan bahasa yang rumit—yang telah dia pelajari selama beberapa tahun—dia dapat berkomunikasi dengan supir taksi lantas taksi itu membawa tubuhnya serta barang-barangnya melewati jalanan yang lenggang dan dingin serta dikelilingi oleh rumput-rumput hijau yang basah karena embun. Jalanan itu menanjak ke bukit-bukit. Tetapi, pemukiman warga dapat ditemukan. Satu dua rumah dia lewati. Dari kejauhan, sebuah bangunan yang besar berdiri kokoh dan megah.

Sofiya meraih sesuatu dari dalam sakunya. Itu adalah kartu identitas anak di sebuah panti asuhan yang ditulis dengan alfabet kiril. Tetapi, seseorang pernah mengajarinya membacanya. Nama yang terpampang di sana adalah "Alexandr Yetlsin". Di sana pula ada alamat panti-asuhan serta identitas singkat Alexandr.

Setelah beberapa lama, taksi itu turun di hadapan sebuah gerbang terali yang tertutup. Tetapi, gerbang itu memiliki celah-celah yang besar sehingga apa pun yang ada di dalam sana tampak dari luar. Anak-anak berlarian dengan pakaian-pakaian mereka yang panjang dan sepatu-sepatu boots mereka yang tebal.

Sofiya keluar dari sana. Sang Supir Taksi membantunya mengeluarkan barang-barangnya. Setelah itu, Sofiya mengucapkan terima-kasih. Lagi-lagi, dalam bahasa yang rumit. Sang Supir pun mengangguk dan tersenyum. Dia pergi dari sana setelahnya.

Perempuan itu menyeret kopernya. Dia membuka gerbang yang tidak tergembok itu. Anak-anak di sana langsung berhenti berlarian. Mereka menatap Sofiya sejenak dengan wajah-wajah mereka yang polos dan penuh pertanyaan.

Jumlah anak-anak itu cukup banyak. Mereka memiliki paras yang indah, kulit-kulit yang putih dan netra yang berkilauan. Tetapi, tidak ada yang seindah kekasihnya. Dia memang diciptakan berbeda dari yang lainnya. Kulit seperti porselen, kelopak mawar di pipi serta netra sejernih biru samudra yang berkilauan itu tidak ada yang menyamainya.

Seorang pria dengan kemeja panjang yang digulung mendekat ke arah Sofiya. Dia melepaskan topinya untuk memberi hormat dengan sopan.

"Akan kubawakan barang-barangmu," katanya dengan bahasa yang rumit. Tetapi sekali lagi, Sofiya sudah memahami verbal itu selama bertahun-tahun. Dia sudah merencanakan dengan baik—sama seperti kekasihnya yang selalu merencanakan segalanya dengan baik. "Yeltsin sangat menyukai pohon oak," sambungnya.

The Killer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang