[55]

223 13 3
                                    

Danya menggebrak meja tempat di mana Alexander tertidur. Pemuda itu langsung berdiri dan sempoyongan karena nyawanya belum sepenuhnya merasuk ke dalam tubuh. Dia memang was-was. Was-was apabila tiba-tiba basement gedung tua itu dikepung polisi. Jadi, dia segera turun dari mejanya dan berdiri.

"Ada apa? Polisi? Ada apa di sini?" tanyanya dengan linglung.

Danya kembali menggebrak meja. "Bodoh. Kenapa adiknya Leslie itu bersikap begitu padaku? Aku hanya menolongnya menyeberang. Tetapi dia malah marah-marah dan berteriak sampai orang-orang di jalan mengira aku melakukan pelecehan kepadanya."

Alexander menguap. Dia mengucek matanya. "Dia memang begitu. Dia alergi dengan pria."

"Alergi bagaimana? Dahulu aku pernah melihatmu memboncengnya. Kenapa aku dihindari? Apa ada yang salah denganku?"

Alexander berdecak sebal. Tidak mungkin dia menjelaskan kepada Danya bahwa Sofiya hanya tidak senang dengan pria-pria yang tidak terlalu akrab kepadanya—dan Danya termasuk dalam kategori itu—karena dia trauma atas perlakuan Dokter Alferd kepadanya. "Maksudku, pria yang tidak dia kenali."

"Tidak dia kenali?" Danya tertawa. "Apa dia amnesia? Kita sudah berkenalan sejak SMP."

"Maksudnya, yang tidak dekat-dekat amat. Aku sudah seperti kakaknya sendiri. Jadi, dia tidak mempermasalahkannya. Sementara kau... bahkan mungkin belum tentu setengah tahun sekali kau bertemu dengannya."

Danya manggut-manggut. "Sesuatu yang terjadi pasti ada alasan. Tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas. Jadi, pasti ada alasan mengapa dia bersikap begitu. Memangnya kenapa?"

Alexander tidak bisa menjelaskannya. "Aku tidak tahu."

"Akan tetapi, biasanya orang-orang tidak menghindariku. Tetapi dia menghindariku. Kurasa, apabila dia tidak senang dengan pria asing, harusnya tidak sampai berteriak-teriak seperti orang sinting begitu." Danya memegangi janggutnya. Dia memang selalu penasaran atas apa yang terjadi. "Ngomong-ngomong, tangannya itu lembut sekali. Aku tidak pernah merasakan kelembutan semacam itu dalam hidupku. Apakah dia itu manusia?"

"Diamlah, Daniel. Aku ingin kembali tidur." Alexander memutuskan untuk kembali berbaring di meja dan memejamkan matanya.

Akan tetapi, Danya masih penasaran mengapa Sofiya tidak senang kenapa pria-pria yang tidak terlalu dekat dengannya. Bahkan hal itu membuat Danya merasa bahwa sihirnya telah luntur. Harusnya, Danya menjadi pengecualian. Tetapi, kenapa prinsip Sofiya sangat kuat sekali?

"Ingatkan padanya untuk meminta maaf padaku. Atau kalau tidak, aku akan memaksanya meminta maaf padaku," kata Danya.

Alexander kembali membuka matanya. "Hey, jangan macam-macam kepadanya."

"Mengapa? Dia membuatku merasa malu tadi! Kau harus mengatakannya!"

Alexander mengembuskan napas. "Iya, iya. Akan kukatakan. Diamlah di sana dan jangan berusaha menyentuh-nyentuh dia lagi."

***

Sudah beberapa minggu sejak Alexander mengatakan bahwa dia akan menyuruh Sofiya untuk meminta maaf kepada Danya. Tetapi, Danya tidak pernah menemukan Sofiya lagi sejak hari itu. Dia merasa kesal. Jadi, dia ingin menemui Sofiya di ensembel.

Saat itu adalah jam istirahat. Tetapi, Sofiya masih ingin bermain. Dia memainkan lagu sedih ciptaannya sendiri untuk anak-anak yang dia latih. Alunannya sangat melankolis. Danya sendiri hanyut dalam permainan itu. Hanya saja, dia agak terlambat. Dalam waktu kurang dari satu menit, permainan itu telah selesai. Anak-anak yang melihatnya memberi tepuk tangan. Sofiya tersenyum kepada satu-persatu di antara mereka. Lantas, dia memutuskan untuk beristirahat sebelum mengajar lagi.

The Killer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang