[46]

139 17 10
                                    

Semuanya telah berlalu.

Dia merasakan suka dan cita dalam hidupnya. Dia telah merasakan segalanya. Segalanya telah dia jalani. Rasa sakit serta kebahagiaan. Begitulah kehidupan.

Ilya merasakan bahwa dadanya semakin sakit. Perawatannya juga sia-sia. Pembedahan atau transplantasi tidak dapat dilakukan. Bagian tumornya telah menyebar di area lain—mengenai dinding jantung yang luas—dan bahkan perlu rekonstruksi jantung apabila hal tersebut tetap dilakukan. Ilya tahu itu mustahil. Keluarga juga sama. Jadi, mereka memutuskan untuk memilih pengobatan lain.

Akan tetapi, sekali lagi dia merasa itu tidak berguna. Rasa nyeri itu semakin melemahkannya. Bahkan untuk berdiri saja, Ilya sudah tidak mampu. Dia tidak pergi lagi ke taman kanak-kanak itu. Sepanjang hari, dia hanya duduk memandangi jendela kamarnya yang menghadap ke halaman mansion sembari mengetik lembaran-lembaran naskah terakhirnya.

Walau merasa bahwa ajalnya sudah dekat, Ilya tidak pernah mengeluhkan hal itu. Apabila keluarga bertanya apakah dia semakin sakit? Maka, dia menjawab semuanya masih terasa sama. Tidak ada perubahan. Tetapi, dia sungguh merasakan bahwa dirinya semakin parah.

"Mungkin keputusan Tuhan untuk memisahkan aku dan Sofiya ada benarnya. Jika dia melihat orang yang dicintainya mati, maka dia akan sedih." Ilya bergumam.

Hardin berdiri di belakang Ilya yang tengah duduk dan menghadap jendela itu—sembari menatap layar monitornya yang menampilkan dokumen naskahnya.

Pemuda itu tidak berkomentar apa pun. Dia tahu bahwa kondisi Ilya semakin parah. Tetapi, Ilya mencari alasan dan berusaha bersikap biasa saja. Dia memahami bahwa Ilya sudah putus asa dan mati merupakan sebuah jalan yang pasti akan segera dia lalui.

"Katakan padaku, Hardin, apakah kau percaya kehidupan setelah kematian? Penghakiman setelah kematian? Aku mendengar banyak hal dari Alice dan Alice mendengarnya dari Miguel. Dia mengatakan padaku bahwa setelah kita mati nanti, segala yang kita lakukan akan kita pertanggung-jawabkan. Dan aku juga harus bertanggung-jawab atas apa yang terjadi kepadanya. Aku harus bertanggung-jawab atas setiap luka dan air-matanya. Tetapi, bagaimana aku melakukannya? Apa yang harus kukatakan kepada Tuhan apabila aku berjumpa dengannya?"

"Pikirkan itu nanti. Kau masih memiliki banyak waktu untuk memikirkannya."

Ilya tertawa kecil. "Aku harus memikirkannya sekarang."

"Yah. Kau merasa ajalmu sudah dekat, ya?"

Ilya manggut-manggut. "Sangat dekat, Hardin. Dan ya, jika aku mati nanti, tolong katakan bahwa aku tidak ingin dimakamkan di dekat Si Bajingan Alferd atau Julian. Aku juga tidak sudi berada di sisi ibuku atau Liliya. Makamkan aku di tempat yang jauh dari mereka."

Hardin mengembuskan napas panjang. "Kenapa kau begitu putus asa?"

"Tidak. Aku hanya memahami kepastian. Aku sudah menulis surat wasiat. Kau bisa mengambilnya di laci setelah pemakamanku nanti."

Kedua bola-mata Hardin memerah dan basah. Sungguh, dia selalu iri atau tidak menyukai sosok Ilya. Ilya selalu ditimang-timang dan mendapatkan apa yang dia inginkan. Sementara Hardin hanya seperti kacung Ilya saja. Tetapi sungguh, Hardin tidak tahu apa yang akan dia rasakan jika dia kehilangan Ilya. Dia tidak akan tahu betapa sepi dan hampanya hatinya setelah sepeninggalan Ilya nanti.

"Sebelum itu, Hardin," kata Ilya. "Aku ingin kau mengakuinya."

"Mengakui apa?" tanya Hardin.

"Apakah kau pembunuhnya?"

Hardin sangat sebal atas pertanyaan ini. Dia terkekeh dan mengusap air-mata di ujung matanya. "Apa aku tampak seperti pembunuh? Mengapa kau ini selalu menuduhku?"

The Killer [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang