Garis polisi sudah dipasang. Artinya, polisi lebih dahulu sampai di sana. Suasana sangat ricuh. Beberapa teman sekelas Julian—dan juga Nada—berada di TKP. Erick duduk di trotoar sembari memegang air mineral dengan tangannya yang gemetar. Sementara itu, beberapa polisi mengerumuninya. Beberapa teman sekelas juga berada di sisi Erick.
Mobil Julian berada di pinggir jalan dengan pintu yang terbuka. Di sana, ada beberapa tim penyidik—termasuk Arman.
Nada segera turun dari mobil Danya. Dia tergesa-gesa menerobos TKP lagi dan melompati garis polisi. Dia langsung menuju ke arah mobil Julian.
Di jok kemudi, tampak Julian sudah tewas. Lagi-lagi secara mengenaskan.
Nada memejamkan matanya kali ini—selama beberapa detik.
Kedua bola-mata Julian ditusuk oleh benda tajam sehingga darah mengucur keluar. Darah-darah itu membasahi baju seragam putihnya. Bibirnya tersobek sampai ke telinga. Darah-darah masih mengucur; dapat diartikan bahwa pembunuhan itu baru beberapa saat terjadi.
Selain itu, bisa Nada pastikan bahwa Julian tewas karena tikaman-tikaman yang menghujami tubuhnya dengan brutal. Benar. Tubuh Julian banjir darah dan seragam putihnya tersobek-sobek. Dia ditikam berkali-kali. Darahnya masih mengucur dan mengalir. Jadi, itu lebih mengerikan dibandingkan dengan kondisi Dokter Alferd yang darahnya sudah mengering.
"Pergilah, Nada. Kau tidak bisa terus-terusan melihat hal semacam ini," kata Arman.
Akan tetapi, Nada tidak pernah mendengarkan. Dia malah mengambil ponselnya dan memotret beberapa sisi dari mayat itu. Selain itu, Nada juga memotret secara apa pun yang bisa dia potret di TKP.
Beberapa saat kemudian, Tuan Ramon datang. Dia segera memeriksa tubuh Julian di dalam mobil itu. Hal itu membuat Nada menyingkir.
Tuan Ramon masih fokus terhadap mayat—bukan terhadap putri bandelnya. Dia menemukan ada yang aneh di mulut Julian yang tersobek. Di sana, ada benda mengkilap—lagi. Jadi, Tuan Ramon memerintahkan anak buah forensiknya untuk mengambil benda itu dari mulut Julian.
Sama seperti di kasus Dokter Alferd, benda itu merupakan sebuah kertas yang diselimuti plastik. Setelah Tuan Ramon menerima surat itu—dengan tangan yang dilapisi sarung lateks—dia membukanya.
Harusnya, aku tidak melakukannya. Tetapi, orang seperti ini—menurutku—memang perlu mati. Dia tidak berguna sebagai manusia.
Sama seperti di pembunuhan Dokter Alferd, tulisan itu dibuat dengan font arial.
Tuan Ramon menelan salivanya. "Ini... pembunuhan berantai."
Arman dan beberapa polisi lainnya saling bertatapan. Di kota besar itu, belum ada pembunuhan berantai sebelumnya. Mereka langsung gemetar.
"Dia adalah cucu dari ketua partai. Keponakan dari Dokter Alferd yang ditemukan tewas beberapa hari lalu. Ah, dua hari lalu?" Arman menelan salivanya. "Apakah Sang Pembunuh menargetkan keluarga itu?"
Tuan Ramon menggeleng. Dia belum bisa memastikannya. Tetapi, dia memastikan satu hal, yakni bagaimana pelaku membunuh korbannya memiliki perbedaan. Di kasus Dokter Alferd, dia tewas dengan paha dan alat kelamin yang rusak—serta perut. Di kasus pembunuhan kali ini, yang dirusak adalah mata dan mulut. Apakah arti semua itu? Pasti itu ada kaitan pribadi dengan korban.
Nada kembali ke mobil Danya. "Di sana ada ayahku."
Danya bertanya hal lain. "Bagaimana mayatnya?"
Nada memperlihatkan foto-foto yang dia ambil tadi. Danya yang melihatnya langsung meringis. Dia memejamkan matanya; tampak tidak kuat menatap pemandangan mengerikan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Killer [END]
Misteri / Thriller[SANG PEMBUNUH] 18+ PLAGIAT DILARANG MENDEKAT ❗ *** Blurb : Dokter Alferd merupakan dokter yang tampan dan berkarisma. Tetapi, itu semua pudar ketika dia ditemukan tewas secara mengenaskan di huniannya. Dirnada "Nada" Atlicia Hayes merupakan putri d...