38 | Perang Sengit

1.8K 117 2
                                    

⚜️⚜️⚜️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


⚜️⚜️⚜️


DI DEPAN pintu utama kastil yang megah, barisan pengawal dan kesatria berdiri tegak dengan gagahnya, mengawasi setiap sudut dengan teliti. Bunyi logam bergemerincing dari peralatan perang yang telah mereka persiapkan untuk dibawa hari ini. Sementara di tengah keramaian itu, Nicholas­­, yang mengenakan jubah perang berwana merah dan Anastasia, mempesona dengan gaun berpayet, terlihat berbicara serius di sana.

Sejujurnya Anastasia masih cukup campur aduk dengan keputusan suaminya yang ingin memimpin perang melawan Klan Arvaz. Perasaannya tidak tenang sepanjang malam memikirkan hari ini tiba.

"Bie.." Nicholas meraih kedua pundak Anastasia. "Aku berjanji akan pulang dengan selamat. Aku akan menjaga diriku baik-baik untukmu," ucapnya dengan lembut.

Anastasia masih diam.

"Aku tidak akan membiarkan para prajuritku berangkat ke medan perang sendirian, sementara aku hanya duduk menanti di sini," lanjut Nicholas.

Anastasia menghela napas, lalu menggenggam tangan Nicholas yang berada di pundaknya. "Maafkan aku karena membuatmu serba salah karena sikapku yang berat hati memberimu izin. Aku hanya khawatir akan keselamatanmu," ujarnya.

"Aku mengerti, istriku..." Nicholas mencium kening Anastasia dengan penuh kasih. "Aku akan berhati-hati. Sekarang, aku harus pergi. Kau jaga diri dengan baik di sini ya," tambahnya.

"Baiklah. Aku akan menunggu kepulanganmu sambil mendoakan keselamatanmu," kata Anastasia sambil membawa tangan kanan Nicholas ke bibirnya untuk memberikan ciuman hangat. Nicholas tersenyum.

Nicholas hendak menaiki kudanya ketika menyadari bahwa Agast dan Ramond tidak berada di sana. Langkahnya terhenti, dan ia menoleh pada Eknath, ingin menanyakan keberadaan dua sahabat mereka. Namun sebelum sempat bertanya, terdengar teriakan dari kejauhan yang memanggil namanya. Semua mata beralih ke arah sumber suara.

Di antara kerumunan, terlihat Agast berlari dengan penuh semangat, sementara Ramond, dengan ekspresi jengah, berjalan dengan langkah santai.

"Darimana saja kalian?" tanya Nicholas sambil mengangkat alisnya.

Dengan senyum yang melebar, Agast menjawab dengan mata berbinar. "Menyelesaikan urusan penting untuk masa depanku," ujarnya sambil mengangkat dan menurunkan alis matanya secara cepat.

Nicholas mengernyit. "Apa? Meniduri perempuan-perempuan lagi?"

"Heh! Kau melebih-lebihkan!" Agast hampir saja memukul lengan Nicholas, namun ia segera menahan diri karena menyadari bahwa sahabatnya itu adalah pangeran kerajaan yang terhormat.

"Dia memaksa Irene menerima cintanya," timpal Ramond sambil memutar bola matanya.

"Jangan seenaknya bicara! Aku tidak memaksa. Aku hanya mengungkapkan perasaanku, dan dia menerimanya," bela Agast.

Marrying A Prince ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang