⚜️⚜️⚜️PAGI itu, Nicholas merasa hampa dan kesepian saat bangun tidur. Biasanya, setiap pagi Anastasia akan menggelitiki lehernya jika ia terlalu lama tidur. Namun hari itu, yang membangunkannya adalah lonceng istana yang besar, berdenting sembilan kali.
"Selamat pagi, istriku," gumamnya sendirian di atas tempat tidur, berharap Anastasia melakukan hal serupa di sana saat membuka matanya pertama kali. Nicholas ingin tahu apakah Anastasia tidur nyenyak di atas kereta kuda, dan apakah nyamuk mengganggunya ketika mereka menembus hutan yang luas. Ia mengingat Anastasia seharusnya memakai pakaian hangat karena malam di sana sangat dingin.
Nicholas menghela napas dalam-dalam, lalu menyingkap selimut dan turun dari tempat tidur. Berjalan ke jendela, ia membuka tirai untuk membiarkan sinar matahari memenuhi kamarnya. Ia mencoba menenangkan kerinduannya yang melanda dengan menghirup udara segar pagi. Meski udara terasa sejuk dan menenangkan, Nicholas tetap tidak merasa lebih baik.
"Apakah aku sudah kehilangan akal?" tanyanya pada dirinya sendiri. Hanya dua hari sejak Anastasia pergi bersama Ibunda Permaisuri, namun rasanya seperti sudah dua minggu berlalu.
Dari jendela kamarnya yang menghadap ke taman depan Istana Riverdale, Nicholas melihat William sedang bersama Pangeran Heinry. Sebuah senyuman menghiasi bibirnya melihat Heinry yang baru belajar berjalan, berusaha mengejar William di bawah pepohonan yang rindang. Ia sungguh berharap suatu saat nanti bisa merasakan menjadi seorang ayah seperti William, yang mengikuti setiap perkembangan dan pertumbuhan anaknya.
Tok! Tok! Tok!
Nicholas segera berjalan menuju pintu dan membukanya ketika mendengar ketukan.
"Ada apa?" tanya Nicholas begitu melihat salah seorang pengawal berdiri di depan pintu kamarnya.
"Ampun, Tuanku," ucap pengawal itu sambil menundukkan kepala dengan sopan. "Robin, pemimpin Klan Arvaz telah tertangkap. Saat ini dia ditahan di penjara bawah tanah. Raja Luther menyampaikan bahwa keputusan untuk menjatuhkan hukuman kepada pemimpin Klan Arvaz berada di tangan Tuanku Pangeran Nicholas."
Mendengar nama itu, suasana hati Nicholas berubah secara drastis. Tangannya terkepal erat dan rahangnya mengeras. "Persiapkan ruang eksekusi. Dalam beberapa menit aku akan ke sana."
"Baik, Tuanku. Segera melaksanakan perintah," jawab pengawal itu sambil memberi hormat sekali lagi sebelum berbalik dan pergi.
Pandangan Nicholas gelap. Dengan langkah tegas dan cepat, ia bersiap-siap. Ia membersihkan dirinya di bak pemandian air hangat untuk mencoba meredakan amarah di dadanya, meskipun dalam hatinya ia tidak sabar untuk membalas perbuatan Robin. Nicholas ingin menikmati momen ini perlahan-lahan sebelum menghadapinya, memberi Robin sedikit lebih banyak waktu untuk mengucapkan selamat tinggal pada dunia.
***
Ruangan eksekusi terlihat gelap dan terasa dingin, hanya beberapa lentera dan obor yang memberikan sedikit penerangan di sana. Cahaya memantulkan bayangan-bayangan menyeramkan di dinding batu. Di tengah ruangan, Nicholas berlutut dengan satu kaki di depan sebuah peti kayu yang dihiasi motif indah, bercat cokelat tua dan sedikit berdebu. Tangannya yang halus menyentuh permukaan peti itu dengan lembut, seolah-olah sedang berbicara dengan benda mati tersebut. Wajahnya yang tampan terlihat suram, hanyut dalam pemikiran yang mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marrying A Prince ✔️
FantasyPangeran Nicholas Veer Ralph, putra bungsu dari Raja Luther pemimpin Kerajaan Tharvis, terkenal sebagai seorang yang angkuh, pemarah, dan pemberontak. Bahkan reputasinya sebagai seorang pemain wanita telah tersebar luas di seluruh negeri. Sikapnya y...