Prolog

68.2K 1.8K 31
                                    

Hari ini bukan saja menjadi hari yang menyedihkan bagi Nata. Tapi, juga hari yang sangat menyedihkan bagi Zea karena hari ini ia menjadi saksi adanya luka dalam keluarganya. Terungkapnya fakta jika keluarganya tak seharmonis apa yang ia ketahui sungguh sangat menyakitkan. Rasanya lebih sakit dari lututnya yang bercucuran darah karena jatuh saat bermain sepeda, juga lebih sakit dari kecelakaan motor dengan sang abang yang menyebabkan tangannya harus di gips. Luka kali ini memang tidak mengeluarkan darah tapi hatinya yang patah. Tak pernah ada dalam bayangannya jika orang yang ia sayangi justru akan menyakitinya sedalam ini. Meninggalkan luka yang mungkin saja akan membekas semasa keberadaannya di dunia ini.

Zea sangat menyesali pilihannya untuk mengikuti Brenda ke rumah Nata. Seharusnya ia langsung pulang ke rumah setelah pemakaman Mama Nata usai. Jika itu yang dipilihnya maka ia tidak akan pernah melihat maminya sedang memeluk rekan kerjanya yang tengah berduka itu. Istrinya baru saja disemayamkan, tanah kuburannya pun masih basah. Lalu, pantaskah ia berpelukan dengan teman wanitanya seerat itu?

Gadis berseragam putih-biru itu enggan untuk pulang ke rumahnya. Rasanya ia tidak ingin bertatap muka dengan sang ibu karena hanya akan mengingatkannya dengan kejadian yang tadi ia saksikan. Gadis berusia sebelas tahun itu masih duduk memeluk lututnya dengan sesenggukan di bawah pohon palem yang ada di taman dekat komplek.

Tepukan di pundaknya membuat gadis itu perlahan mendongakkan kepalanya. Menghapusi lelehan air mata di pipinya dengan kedua tangan. Dipandanginya lelaki muda di depannya yang mengulurkan sapu tangan, "ambil ini untuk mengelap wajahmu," katanya dengan menyodorkan sapu tangan itu lebih dekat. Zea menuruti perintahnya, dan dengan santainya gadis itu menggunakan sapu tangan dari orang yang tidak dikenalnya itu untuk membersihkan ingus yang ikut keluar dari lubang hidungnya.

Tanpa disangka, lelaki muda itu malah duduk di sebelahnya dengan santai dan menselonjorkan kedua kakinya. "Hari ini sebenarnya kakak juga pengin menangis. Tapi, karena banyak orang menangis yang kakak temui. Jadi, keinginan kakak untuk menangis hilang. Kakak tahu menangis bisa membuat kita merasa lebih lega. Tapi, kebanyakan menangis juga akan membuat kita menjadi lelah," ungkapnya tanpa ada yang meminta.

Lelaki muda itu memandang jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. "Sebentar lagi langit akan gelap. Kenapa kamu belum kembali ke rumah? Apa kamu sudah melakukan kesalahan sehingga membuatmu tidak berani pulang ke rumah?" tanyanya.

Gadis kecil itu menggeleng dengan cepat.

"Bukan aku yang salah! Mami yang salah! Mami pelukan sama Om Adhit. Dan itu membuatku sakit hati. Aku nggak mau ketemu sama Mami," jawabnya dengan galak.

"Tapi ini sudah mulai petang adik kecil. Akan bahaya jika kamu masih di sini. Orang tuamu pasti kebingungan mencari keberadaanmu. Di mana rumahmu? Mau kakak antarkan?"

"Aku nggak mau pulang. Aku nggak mau lagi ketemu sama mami," ujarnya penuh dengan rasa kesal dan marah.

"Jangan pernah bilang seperti itu. Kenyataan untuk tidak bisa bertemu lagi dengan orang tuamu mungkin akan sangat dan lebih menyakitkan dari apa yang kamu rasakan saat ini. Kakak sudah tidak bisa bertemu lagi dengan bunda kakak semenjak tiga belas tahun yang lalu. Dan rasa rindu itu masih selalu hadir setiap waktu. Kakak harap kamu akan lebih lama bisa menghabiskan waktu dengan kedua orang tua kamu."

Gadis itu hanya diam dengan seksama mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulut lelaki di depannya.

"Ayo, kakak antarkan kamu pulang. Kakak akan berikan hadiah jika kamu mau kakak antar pulang," bujuknya.

"Apa kakak boleh tahu siapa namamu wahai gadis kecil?"

"Roseta." Gadis kecil itu menggeleng, "tidak, namaku Arundati. Bukan Roseta," lanjutnya meralat. Ia tidak suka dipanggil Roseta. Dulu seringkali ia dirundung oleh temannya dengan memanggilnya 'gadis berduri'. Zea sangat benci panggilan itu.

Lelaki muda itu mengulurkan tangannya. Dan Zea menerima uluran tangan itu. Mereka berjalan bergandengan tangan sampai tiba di depan gerbang komplek perumahannya. Sebelum berpamitan, lelaki muda itu membuka tas yang dibawanya. Mengambil sebuah jepit rambut berhias bunga mawar yang ditemukannya tadi pagi di laci nakas kamarnya.

"Sesuai janji, ini hadiah buat kamu." Dengan sedikit senyum, Zea menerima hadiah dari lelaki muda berparas tampan yang mengantarkannya pulang. "Terima kasih kakak ganteng," lelaki itu ikut tersenyum dan mengacak pelan rambutnya.

.

.

.

To Be Continue

Thanks For Reading😊

————————————————————
Follow More
Karyakarsa : @meyworlds
Instagram : @meyyworlds

COMPLEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang