COMPLEMENT - 35

14.6K 983 12
                                    

Haloo👋👋

Happy Reading 😊

Jangan lupa vote dan komentarnya yaa 🌟❣️


.

.

.











"Aku mau kita menikah, Arunda."

Zea menghentikan langkahnya mendengar kalimat yang keluar dari mulut Arash. Gadis itu menatap Arash datar beberapa detik lalu melepas tangan pria itu yang menggenggamnya. Tanpa kata, Zea kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil Arash di parkiran. Dia tidak habis pikir dengan apa yang ada dalam kepala Arash. Bisa-bisanya dengan enteng bilang mau menikah dengannya di saat Zea sendiri masih khawatir dengan Raska yang baru saja ditabraknya. Walaupun bocah laki-laki tersebut tidak luka parah, tetap saja Zea merasa sangat bersalah. Karena dirinya anak itu harus berjalan dengan bantuan kruk.

Zea tahu sewaktu mengantre obat tadi pandangan mata Arash tidak lepas dari pasangan kakek-nenek yang masih mesra. Apa karena melihat itu jadi muncul keinginan untuk menikah dalam pikiran pria tersebut? 

Semenjak Zea mengatakan mau berteman dengannya, Arash sudah tidak pernah lagi membahas tentang pernikahan. Pria itu hanya selalu hadir di setiap hari Zea. Sampai-sampai Andhis bilang mereka sudah seperti pasangan beneran karena kerap tinggal bersama.

"Aku langsung antar kamu ke rumah ya."

Bukan pertanyaan yang dilontarkan Arash. Pria itu menyatakan jika akan memulangkan Zea langsung ke rumahnya.

Zea menyatukan alis, tidak suka dengan niat Arash. "Enggak!" tolaknya dengan tegas. "Ayo ikutin Fredy! Gue juga pengin tahu rumahnya Raska. Kalau semisal ada apa-apa sama dia, gue mau jengukin ke rumahnya."

"Tidak ada luka serius di tubuh Raska, Arunda. Ibunya pun tidak meminta kamu yang mengantar mereka. Dengan Fredy saja yang ikut ke sana sudah cukup."

Zea hendak keluar dari mobil Arash karena pria itu masih ngotot ingin mengantarnya pulang.

Tidak ingin Zea keluar dari mobilnya, Arash dengan cepat menarik lengan gadisnya. "Iya, kita ikuti Fredy dari belakang."

"Nah, gitu dong dari tadi."

"Tapi, kita mampir sebentar saja ya?" Arash melihat jam yang melingkar di tangannya. "Dua jam lagi kita sudah harus di bandara," lanjutnya.

"Mundurin aja jadwal take off-nya, Ar," suruh Zea seenaknya.

Arash menghembuskan kasar napasnya, "atur jadwal penerbangan enggak bisa dadakan, Arunda."




***




Rumah Raska berada di perkampungan dengan gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh satu motor. Fredy yang sampai di sana lebih dulu menelepon atasannya memberi tahu untuk memarkir mobilnya di lapangan serbaguna RW lingkungan tempat Raska tinggal.

Arash keluar dari mobil sementara Zea masih berada di dalam mencari kacamata hitam yang ia simpan di dasbor mobil. Arash membuka pintu belakang untuk mengambil beberapa jenis roti yang tadi dibeli oleh Zea. Setelahnya Arash menghampiri Zea dan menggandeng tangan gadis itu untuk menuju ke kediaman Raska.

Banyak ibu-ibu yang bercengkrama di teras rumah mereka. Ada juga beberapa anak kecil yang berlarian saling mengejar di jalanan sempit itu. Seperti biasa, Arash berjalan menatap lurus ke depan tanpa menoleh sama sekali ke sekitar. Pria itu memang tidak bisa bersikap ramah pada orang yang tidak dikenalnya. Tidak seperti Zea yang mengucapkan permisi dan tersenyum walaupun orang-orang di sana tidak bisa melihatnya sebab tertutupi oleh masker yang ia gunakan.

COMPLEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang