COMPLEMENT - 29

13.4K 1K 15
                                    

Haloo👋👋

Happy Reading 😊

Jangan lupa vote dan komentarnya yaa 🌟❣️


.

.

.




Demi memenuhi semua keinginan sang penyanyi, Arash harus menyelesaikan dengan cepat semua urusannya di Jogja. Pukul lima sore Arash dan sekretarisnya sudah tiba di Jakarta. Setelah dari bandara, keduanya langsung menuju ke salah satu mall yang ada di Jakarta Pusat untuk pergi ke store yang diberitahukan oleh Zea. Pria itu bahkan tidak sempat untuk mampir ke rumah terlebih dahulu. Arash mengganti pakaian formalnya di toilet bandara dan saat ini dirinya bersama dengan Andhis mampir ke salah satu restoran Jepang yang ada di sana untuk makan malam.

Tidak butuh waktu lama untuk Arash menyelesaikan makan malamnya. Keluar dari restoran, kedua pria tersebut langsung menaiki eskalator untuk menuju store yang menjual tas-tas branded produk luar negeri yang menjadi banyak incaran para sosialita.

"Bapak serius akan ikut mengantre?"

"Ck, retoris."

"Tapi, Pak—"

Arash tidak mau mendengarkan kelanjutan ucapan Fredy. Dia melanjutkan langkahnya untuk memasuk store yang sejak tadi menjadi tujuannya.

Fredy terheran-heran melihat atasannya tetap melanjutkan langkahnya setelah melihat antrean yang mungkin lebih dari dua puluh orang itu. Apa dia tidak salah lihat? Bosnya mau mengantre? Hampir tujuh tahun Fredy bekerja dengan Arash. Dia sangat tahu jika bosnya itu paling tidak suka dengan yang namanya menunggu. Fredy jadi bertanya-tanya apakah bosnya menaruh hati pada si penyanyi itu sampai rela antre untuk mendapatkan tas?

Fredy sedikit berlari untuk menghampiri Arash. Dia melihat Arash yang sepertinya beradu mulut dengan wanita yang merupakan pegawai di store tersebut.

"Saya bisa beli toko ini kalau perlu. Saya akan bayar berapa pun harganya!" Fredy mendengar kalimat sombong yang dikeluarkan oleh bosnya. Bisa gawat nantinya kalau si bos tidak dituruti maunya.

"Maaf, Bapak, tapi itu sudah menjadi regulasi dari store kami. Jika Bapak ingin membeli tas tersebut maka harus antre terlebih dahulu. Apakah Bapak memiliki member card? Jika Bapak memilikinya, Bapak bisa ikut antrean VIP yang lebih sedikit." Perempuan tersebut menjelaskan dengan nada yang terdengar sedikit kesal. Fredy paham sekali akan hal tersebut. Pasti tadi sang atasan negosiasi tidak ingin ikut antre dengan rela membayar berapa pun nominalnya.

"Arash?"

"Tante Sandra." Arash menyalimi istri dari adik ayahnya itu.

Melihat kedatangan Sandra, salah satu pegawai di sana ikut menghampiri. "Selamat malam, Ibu. Mari, Ibu bisa tunggu di ruang VIP selama kami menyiapkan pesanannya," sapa pegawai yang baru datang itu dengan ramah.

"Iya, sebentar Mbak. Saya mau ngomong sama ponakan dulu."

"Kamu mau beli apa, Rash? Tante tadi sempet lihat kamu kayak bete gitu."

"Arash mau beli ini, Tan. Tapi, antrenya panjang," jelasnya dengan menunjukkan gambar di ponsel.

"Kamu sendiri yang antre? Bukan Fredy?" Sandra tidak percaya ponakannya ikut antrean panjang untuk beli tas seharga ratusan juta. Tunggu, Arash membeli tas itu untuk siapa? Bukankah tas itu untuk perempuan? Sandra tahu sekarang ini banyak pria yang juga memiliki tas yang banyak digunakan kaum perempuan. Namun, tidak mungkin juga jika keponakannya masuk dalam golongan seperti itu. Sandra tahu bagaimana fashion style sang ponakan. Untuk itu dia pun menanyakannya, "tasnya untuk kamu sendiri?"

COMPLEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang