COMPLEMENT - 28

10.3K 791 10
                                    

Haloo 👋👋

Happy Reading 😊

Jangan lupa vote dan komentarnya yaa 🌟❣️

.

.

.


Sembari menunggu Zea terbangun, Arash mengecek email yang masuk. Sebenarnya dia juga ingin beristirahat. Namun, dia tidak ingin Zea meninggalkannya setelah terbangun.

"Sepenting apa hal yang mau lo bicarain sampai-sampai rela nungguin gue tidur?" tanya Zea dengan mengucek matanya yang masih ngantuk. Larut dalam fokusnya membaca email, Arash tidak menyadari jika gadis yang ditunggunya sudah terbangun. Pria itu segera menutup aplikasi yang dibukanya lalu mengantongi ponselnya setelah melihat Zea yang ingin beranjak dari sana.

Arash refleks menarik tangan Zea ketika gadis itu sudah berdiri, "Arunda!" Dikarenakan kesadaran yang belum ada sepenuhnya, tubuh Zea mudah saja limbung ketika mendapat tarikan. Beruntungnya Arash dengan sigap merengkuh pinggang ramping Zea dan menariknya sehingga tubuh Zea tidak sampai terjatuh.

Zea tidak marah ketika Arash menariknya dalam pelukan. Arash sadar jika tubuh Zea terdiam kaku dalam rengkuhannya. Hal tersebut sama seperti ketika Arash mengangkat Zea dengan tiba-tiba sewaktu di Bali.

Arash mendudukkan Zea ke sofa. Terlihat napas Zea yang tidak biasa dan tangannya yang sedikit bergetar. Arash menangkupkan kedua tangannya di pipi Zea. "Hei, Arunda ..." Pandangan Zea masih belum tertuju padanya. "Arundati," panggilnya lagi dengan sedikit menarik wajah Zea agar lebih dekat dengan wajahnya. Ketika pandangan mata Zea sudah lurus dengannya, Arash pun memberi instruksi. "Tarik napas, buang, tarik napas, buang pelan-pelan ..." Zea mengikutinya berulang hingga rasa paniknya hilang.

Walaupun Zea masih terdiam, Arash tahu kalau kepanikan gadis tersebut sudah hilang. Arash mengelus singkat pipi halusnya, "saya ambilkan minum dulu," ujarnya lalu berjalan menuju dapur yang ada di unit tersebut.

Arash membantu Zea untuk minum. Gadis tersebut menerima tanpa protes. "You okay?" tanya Arash memastikan keadaan Zea setelah meletakkan gelas di meja.

Zea memberikan anggukan untuk pertanyaan Arash. "Apa yang mau lo bicarakan?" tanyanya kemudian tanpa menatap lawan bicaranya.

"Saya serius ketika mengajak kamu menikah. Saya tidak pernah main-main dengan ucapan saya. Apa kamu tidak ingin memikirkan ulang? Di sini kita berdua saling membutuhkan. Akan jadi hubungan mutualisme jika kita berdua menikah."

Zea menggerakkan tangannya agar Arash menjeda ucapannya. "Lo bilang saling membutuhkan? Sori, gue nggak pernah butuhin lo."

Arash menghela napas sebelum melanjutkan apa yang akan disampaikannya pada Zea. "Saya butuh kamu agar saya bisa tidur seperti orang normal lainnya. Sedangkan kamu membutuhkan saya untuk menolak semua pria yang diajukan oleh kakekmu. Saya tahu kamu tidak ingin dijodohkan. Terlebih lagi kamu juga punya trauma akibat ulah pria brengsek yang pernah akan dijodohkan denganmu. Saya tidak menyangka keluarga Notonegoro diam saja tidak menjebloskannya ke penjara. Apa keluargamu takut nama baiknya akan ikut turun?"

"Bukan urusan lo."

Zea tidak heran Arash bisa mengetahui hal tersebut walaupun sudah mereka tutupi. Para konglomerat seperti keluarga Arash pastinya punya kekuasaan untuk mencari tahu secara detail profil seseorang sampai ke borok-boroknya. Zea yakin sebelum Arash mengajaknya untuk menikah, pastinya pria itu sudah mencari tahu semua tentangnya.

COMPLEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang