COMPLEMENT - 21

11.6K 733 18
                                    

Haloo👋👋

Gimana kabar kalian semua?

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H😊
Mohon maaf lahir dan batin untuk kalian semua 🙏🙏

.

.

.

Happy Reading 😊

Jangan lupa vote dan komentarnya yaa🌟❣️

.

.

.

"Loh, Mbak, nggak jadi?"

Zea tidak menjawab pertanyaan dari sopir taksi. Gadis itu berlari ke tengah jalan, di mana tempat Arash tergeletak berlumuran darah yang sudah dikerubungi oleh beberapa orang yang tadi menunggu di halte bersamanya. Zea membelah kerumunan dengan berlari dan langsung berjongkok di samping Arash.

"Arash!" Yang dipanggil hanya tersenyum dengan napas yang tersendat. Tangan Zea gemetar melihat begitu banyak darah yang mengalir dari belakang kepala Arash. Tanpa diminta, air matanya mulai berjatuhan. Sebenci apa pun Zea pada Arash, melihat lelaki ini diambang kesadaran bahkan bisa saja nyawanya tidak tertolong membuatnya tak tega juga.

***

Kesadaran Arash semakin menurun, matanya hampir memejam. Tapi, sekuat usaha ia tetap ingin mempertahankan kesadarannya. Entah kenapa melihat perempuan yang berlutut disampingnya menangis membuat perasaannya senang. Aneh. Namun, memang itu yang hatinya rasakan. Kepalanya terasa sangat sakit. Punggungnya pun juga begitu

Sebelum ini terjadi dia memang meminta pada Tuhan agar diberi kesempatan untuk tidur dengan tenang dan cukup seperti kebanyakan manusia lainnya. Dia ingin penyakit susah tidurnya itu segera terobati. Apakah Tuhan akan mengabulkan permintaannya? Membuatnya tidur dengan tenang? Tapi, Arash tidak minta untuk selamanya. Pria itu masih ingin menemani ayahnya hingga tua nanti.

***

"Arash! Rash! Heh, lo nggak boleh merem! Jangan merem, Arash! Kalau lo emang mau mati kenapa harus di depan gue?! Lo mau hantuin gue karena nolak lamaran lo? Arash!" Zea mengguncang lengan kiri Arash karena kesadaran lelaki ini sudah hilang sepenuhnya. Zea merasakan denyut nadi di pergelangan tangan pria ini pun semakin melemah.

"Mbak, ambulansnya udah datang, Mbak!" Teriak dari salah satu orang yang ikut berkerumun di sana. Dari beberapa orang yang ikut berkerumun itu ada yang berinisiatif untuk menelepon kantor polisi dan juga ambulans. Mobil ambulans datang diikuti dengan polisi di belakangnya. Paramedis yang ada di ambulans dengan cepat memindahkan tubuh Arash. Zea berniat untuk ikut masuk ke dalam mobil ambulans. Namun, langkahnya terhenti ketika ada yang menahan lengannya. "Mbak?" tanya polisi yang menahannya. "Saya temannya," jawab Zea yang direspon polisi tersebut dengan melepaskan tangannya. Beruntungnya Zea menggunakan masker saat keluar dari unitnya. Jadi, walaupun banyak orang disekitarnya tidak ada yang mengenalnya.

***

Sesampainya di rumah sakit Arash langsung mendapat tindakan medis di UGD. Zea menunggu di kursi tunggu yang ada di depan dengan wajah yang menunduk dan perasaan yang campur aduk. Ada rasa takut, sedih bercampur panik menyerangnya. Tangannya pun masih gemetar mengingat banyaknya darah yang keluar dari kepala Arash. Semua ini bisa terjadi karenanya. Zea sangat menyesali pilihannya untuk pulang sendiri. Harusnya dia menurut saja. Harusnya dia tetap menunggu di lobi apartemen. Kalau dia menuruti perkataan Arash, tidak mungkin kecelakaan ini terjadi. Tidak mungkin pria itu harus berada di UGD.

COMPLEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang