COMPLEMENT - 54

18.5K 883 32
                                    

Haloo👋👋

Happy Reading 😊

Jangan lupa vote dan komentarnya yaa 🌟❣️

.

.

.

Arash keluar dari lift sudah rapi dengan setelan kantornya. Langkah kakinya menuju ruang makan untuk sarapan seperti biasa. Arash menarik kursi untuk dia duduki. "Pagi, Yah," sapanya pada Aryatama yang tengah membaca koran dengan ditemani secangkir kopi dihadapannya.

"Kenapa turun sendiri? Istri kamu masih siap-siap?"

"Arunda masih tidur, Yah. Semalam susah tidur karena perutnya sakit."

"Sudah kamu panggilkan dokter?"

Arash menggeleng. "Istriku sakit perut karena dapat tamu bulanan, Yah. Semalam aku juga bantu kompres pakai air hangat biar sakitnya lumayan reda."

Aryatama menanggapi dengan manggut-manggut dan kembali fokus pada korannya.

Berbeda dengan sang ayah yang menikmati kopi paginya, Arash lebih suka minum teh di pagi hari. "Terima kasih, Buk," ujarnya pada Buk Timah yang menghidangkan teh di hadapannya.

Belum sampai ujung cangkirnya menyentuh bibir, tiba-tiba tamparan kencang terasa di pipinya.

Plak .. Pyaar ..

Cangkir di tangan kanannya lepas. Cangkir mahal dengan bahan keramik yang dibeli dari Turki itu seketika pecah. Teh hangatnya tumpah mengenai sebagian paha Arash. Tidak peduli dengan itu semua. Netra Arash menatap lekat sang istri yang menyebabkan kegaduhan pagi ini. Sang istri yang tiba-tiba muncul dengan memberinya tamparan keras. Penampilannya masih berantakan. Bahkan istrinya tersebut masih menggunakan gaun tidurnya semalam. Air matanya mengucur deras membasahi wajah. Napasnya memburu seperti menahan amarah. Sebenarnya kesalahan apa yang telah Arash perbuat?

"Kamu kenapa, Nda?"

Pertanyaan dari Arash membuat Zea sadar akan apa yang terjadi. Matanya menatap satu per satu orang yang berada di sana. Semua memfokuskan perhatian padanya. Dengan cepat Zea berlari masuk ke dalam lift untuk kembali ke kamarnya.

"Nda!"

"Kamu buat kesalahan apa, Rash?" 

Arash pun kebingungan. Seingatnya dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Semalam juga keduanya baik-baik saja. Tidak ada pertengkaran apa pun yang terjadi di antara keduanya.

"Cepat disusulin, Mas Rash. Coba ditanya baik-baik Non Zea-nya," saran Buk Timah yang membuat Arash langsung bangkit dari duduknya. Berjalan cepat menaiki tangga untuk menyusul sang istri.

***

Arash memdorong pintu kamarnya yang terasa lebih berat dari biasanya. Dia menduga jika sang istri yang berada di balik pintu adalah penyebabnya. Arash menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan sebelum berujar dengan lembut, "Nda? Aku masuk ya? Kamu bisa geser sebentar?" Walaupun tidak ada sahutan dari sang istri, namun Arash tahu jika istrinya mendengar perkataannya. Pintu kamar yang sudah terbuka itu pun perlahan membuka lebih lebar walau tidak sepenuhnya.

Arash segera masuk dan yang dia dapati adalah suara tangisan istrinya yang semakin kencang.

Arash menyamakan posisi dengan ikut berjongkok di depan sang istri yang duduk memeluk kedua lututnya. Tangannya terulur untuk menyelipkan rambut istrinya yang menutupi wajah. Dengan lembut tangan itu menarik dagunya untuk memfokuskan pandangan mata sang istri padanya. "Hei, kamu kenapa? Aku salah sama kamu? Aku minta maaf, ya?" Bukannya makin tenang, isak tangisnya justru makin kencang. "Nda ... Apa yang sebenarnya terjadi? Hm? Kamu nggak mau cerita ke aku?" Lagi-lagi suara tangis Zea makin kencang.

COMPLEMENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang