• 42

55 7 1
                                    

selamat membaca-!

•••

Seorang lelaki sedang duduk santai di teras rumahnya. Sambil menikmati teh hangat dan kue kering yang tidak pernah berubah rasanya.

Ia sesekali membuka layar ponselnya dan tersenyum saat melihat notif pesan dari seseorang yang ia sayangi.

"Permisi!"

Senyuman yang awalnya menghiasi wajah Bian itu perlahan memudar. Lelaki itu bangkit, untuk melihat siapa yang bertamu di sore hari ini.

"Cari siapa ya?" tanya Bian.

Empat lelaki berbadan tinggi besar itu tidak menampilkan wajah ramah.

"Benar dengan rumah Pak Widianto?"

Wajah yang menampilkan raut ramah itu langsung berubah, dan memandang keempat pria di hadapannya dengan wajah datar. "Bukan. Salah rumah."

"Maaf, tapi kami harus bertemu dengan Pak Widianto," jawab salah satu dari mereka.

"Udah pindah dirumah. Disini gaada yang namanya Widianto, sudah kan? Permisi."

Bian hendak menutup gerbang rumahnya, tetapi salah satu dari mereka menahan pintu gerbang. "Dimana kamu sembunyikan Pak Widianto?"

Bian berdecak. "Saya sudah bilang, disini tidak ada yang namanya Widianto! Kalian ga paham?!"

Pria berambut gondrong itu mengeram lalu mencengkram kerah baju Bian. "Kami tidak main-main. Dimana Pak Widianto?!"

"Saya juga tidak main-main dengan ucapan saya. Pak Widianto udah mati! Dia ga disini!" ucap Bian.

Satu orang pria yang sedari tadi menyimak dan pakaiannya paling rapi itu membuat tusuk gigi yang sedari tadi ada di dalam mulutnya. "Masuk! Grebek rumahnya!"

Ketiga pria lainnya langsung masuk ke dalam rumah, setelah melepaskan cengkraman kerah Bian. Bian panik, ia langsung ikut masuk ke rumah.

Baru 1 menit, tapi rumahnya sudah berantakan karena keempat pria tak dikenal itu. Indira menangis di atas sofa sambil memandangi rumahnya yang masih di obrak-abrik.

"KALIAN SIAPA? ADA MASALAH APA SAMA PAK WIDIANTO?!"

Keempat pria yang awalnya masih mengacak-ngacak rumah itu berhenti. Lalu berjalan bersamaan menuju sofa, tempat dimana Bian dan Indira berada. Indira menggenggam tangan Bian untuk menyalurkan rasa takutnya. Wanita itu berlindung dibalik tubuh Bian sambil terus menangis.

"Bapak kamu! Punya hutang ratusan juta, tapi kabur. Kami kemari karena rumah ini dijadikan jaminan oleh pria tua itu!" sentak pria yang memakai jas.

Bian mengeratkan rahangnya. "Sialan! Udah mati aja masih buat susah."

"Bunda tau kalau Ayah punya hutang?" tanya Bian yang dibalas gelengan kepala oleh Indira.

"Kami tidak tau perihal hutang yang Ayah saya ambil, jadi tolong kalian keluar dari rumah kami," ucap Bian.

"Heh bocah! Kita ada surat perjanjian yang dibuat oleh Ayah kamu dan bos kita. Di surat perjanjian, jika tidak bisa bayar hutang maka rumah ini adalah jaminannya," sahut satu pria.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang