• 32

70 6 0
                                    

selamat membaca -!

•••

"Coba aku tanya, apa alasan kamu menghilang kayak gitu?"

Mala mengangkat pandangannya, menatap lekat manik mata milik Bian.

Lelaki itu diam, tidak berniat membuka mulutnya untuk sekedar menjawab pertanyaan dari Mala.

"Gabisa jawab kan?" tanya Mala diakhiri dengan kekehan sumbang.

"Karena kamu emang ga anggap aku sebagai pasangan kamu. Kamu ga merasakan sebuah 'rumah' saat kamu lagi sama aku," lanjut Mala.

"Selama ini, aku selalu cerita ke kamu, bahkan untuk hal yang gajelas sekalipun aku selalu ceritain ke kamu. Tentang Raden yang ngeselin, kucing yang aku temuin dijalan, tentang Mamah yang masak opor hari ini, tentang ban mobil Ayah yang kempes. Kamu jadi satu-satunya orang yang tau kehidupan sehari-hari aku kayak gimana. Kamu jadi orang pertama yang aku cari pas aku ada cerita seru, lucu, ataupun sedih. Karena aku mau, kamu ngerasain kalau kamu berharga di hidup aku.

Aku pengen kamu tau dan sadar bahwa kamu itu 'rumah' yang selama ini aku cari. Sedangkan kamu? Aku ini bagai orang asing yang tiba-tiba aja jadi pacar kamu. Aku dengan segala ketidaktahuan aku tentang kehidupan kamu. " Gadis itu berdiri.

"Tentuin posisi aku di hidup kamu, baru aku bisa maafin kamu."

Setelah mengatakan kalimat itu, Mala melangkahkan kakinya menuju stand nasi uduk untuk mengembalikan piring sebelum pergi ke kelas, meninggalkan Bian yang masih terduduk dengan pandangan kosong.

Gadis itu berlari kecil menuju kamar mandi, mengunci diri di salah satu bilik kamar mandi. Menatap ke langit-langit kamar mandi agar air matanya tidak tumpah saat itu juga.

Tidak. Ia tidak boleh menangis. Ia tidak boleh lemah hanya karena laki-laki. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri dan Diana untuk tidak lemah urusan laki-laki.

Setelah berdiam selama dua menit didalam bilik kamar mandi, Mala keluar dan langsung mencuci wajahnya secara kasar di wastafel. Ia menatap pantulan wajahnya di kaca, kemudian tersenyum lebar sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar mandi.

"Mal!"

"Janco!" maki Mala karena terkejut melihat Zea yang sudah berdiri di samping pintu kamar mandi.

"Lo ngapain sih disitu? Ngagetin aja," ucap Mala lalu melanjutkan langkahnya menuju kelas.

Zea menoleh, menatap wajah Mala yang basah. "Lo nangis?"

"Engga," jawab Mala seadanya. Ia memang tidak menangis, kan?

"Bohong!" seru Zea.

Mala mendelik kemudian menoyor dahi Zea. "Orang beneran kok. Tenang aja, gue bisa kontrol perasaan gue kok. Yakali gue nangis-nangis di sekolahan."

"Lo nyindir gue?!" tanya Zea dengan tatapan tajamnya.

"Oh maaf, ngerasa ya," jawab Mala dengan nada yang menyebalkan.

"Sini lo!" seru Zea saat Mala sudah berlari meninggalkannya.

Mala tertawa kencang saat melihat Zea yang sudah tertinggal jauh di belakang, setidaknya ia bisa melupakan sejenak masalahnya dengan Bian.

EphemeralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang