Bagi Ema, dia selalu membenci rumah sakit. Masa lalu membuat tempat ini begitu mengerikan. Ada kesendirian yang menyedihkan, isak tangis yang tak berujung, dan tentu saja putus asa yang mengikuti. Sekarang alasan benci itu bertambah, rumah sakit hanya membuat dia terus-menerus mendengar teriakan-teriakan Kaisar yang bikin sakit kepala.
MANJA BANGET SIH! Ema ingin sekali mencekik leher bosnya itu. Tidak membunuh, tapi setidaknya Kaisar diam. Ini baru dipegang perban lukanya, belum dibuka apalagi dibersihkan.
"Pak, kayaknya nggak perlu sampai teriak-teriak gitu deh." Ema sudah tidak tahan. "Kalau teriak-teriak terus kasihan pasien di tempat lain keganggu."
"Bodo amat! Gue kesakitan, Emerald." Kaisar merengek. Fokusnya berpindah pada dokter. "Dok, ini nggak disuntik lagi, kan?"
Dokter yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Nggak, Pak. Tenang aja. Ini cuma diganti perban sama cek jahitannya. Jadi, tolong jangan teriak-teriak."
"Sak–"
Tahu-tahu saja Ema mendorong kepala Kaisar ke arah perutnya. Wanita itu sengaja menyumpal mulut lemes bosnya itu di lemak-lemak perut agar tidak semakin nyaring saja teriakannya.
"Udah, Dok. Kalau gini udah nggak jerit-jerit. Bisa mulai aja ganti perbannya."
Setelah Ema mengatakan itu Dokter pun mulai untuk melepaskan perban Kaisar. Bosnya itu beberapa kali sudah akan menjerit, tapi Ema menekan kepala Kaisar agak semakin rapat ke perutnya.
"Suaminya lucu ya, Bu." Dokter kembali berbicara. Ada senyum geli di wajahnya saat mulai mengolesi sesuatu di jahitan Kaisar. "Dari tadi jerit-jerit kayak anak kecil, tapi giliran dipeluk langsung diem."
"Iya, Dok." Ema tanggapi saja daripada canggung. "Ini suami saya kalau udah peluk perut saya langsung diem. Biasalah kalau anak kecil udah dikasih mainannya ya lupa kalau lagi kesakitan."
"Masih sakit!" keluh Kaisar dari sela-sela pelukan Ema.
Ema menunduk. Dia memelotot menyuruh bosnya itu diam. Kasihan dokter sudah bersusah payah menahan sakit telinga dan juga bekerja secara bersamaan.
"Gitu toh." Dokter terkekeh. "Sebenarnya sih masalah perban-perban ini bisa loh kalau mau diganti sendiri di rumah. Ibunya tinggal panggil suster atau kalau bisa sendiri lebih hemat uang dan waktu juga."
Ema mengangguk. "Saya udah sering ganti perban sih, Dok. Tapi–"
"Siapa yang lo ganti perbannya?"
Suara Kaisar membuat Ema mendengkus keras. Wanita itu kembali menunduk. Dan tahu-tahu saja matanya terkunci oleh tatapan lekat bosnya itu.
"Pak, fokus sama luka sendiri ya," pinta Ema.
"Fine." Kaisar mengangguk. "Kalau gitu mulai besok lo aja yang gantiin luka gue biar nggak capek-capek ke rumah sakit."
"Nggak ah!" Ema menolak. Sudah cukup dia menemani Kaisar berteriak-teriak di rumah sakit. Wanita itu tidak mau menambah beban pekerjaan dengan harus mendengarkan teriakan bosnya itu ditambah mengganti perban luka Kaisar. "Nggak mau!"
"Ya ...." Suara Kaisar terdengar sedih. "Padahalkan lumayan ya, Dok, biaya sewa suster? Daripada duitnya gue kasih ke suster yang nggak gue kenal, kenapa nggak duitnya buat lo aja?"
Ketika mendengar kata duit, Ema langsung tertarik. Fokusnya langsung tercurah sepenuhnya pada Kaisar. Wanita itu bertanya lambat-lambat. "Maksudnya kalau saya yang gantiin perban itu, saya dibayar sesuai tarif perawat panggilan?"
Kaisar mengangguk. "Mungkin biayanya lebih tinggi."
"Deal! Oke, mulai besok saya yang gantiin perban Pak Kaisar." Ema memamerkan senyumnya. Kemudian, fokusnya tercurah sepenuhnya pada dokter yang sedang menatap Ema dan Kaisar bergantian. "Dok, nanti saya dikasih tahu lagi ya cara ganti perbannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG & BOSS (TAMAT)
RomanceHidup Kaisar-Kai mendadak kacau saat dibangunkan seorang wanita berisi di dalam kamarnya. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Emerald-Ema. Tanpa persetujuan Kai, Ema sekarang menjadi asisten pribadinya yang super ikut campur. Segala hal mengenai...