Chapter 42 : Time to Say GoodBye

2.2K 329 20
                                    

Another day, another packing day. Ema mendesah napas panjang sambil geleng-geleng kepala. Setelah mengemasi pakaian-pakaiannya dari rumah Kaisar beberapa hari lalu, sekarang saatnya dia mengemasi barang-barang Raknan dari Panti.

Tanpa sadar Ema agak berkaca-kaca menatap tumpukan pakaian sang adik. Berbeda dengan dirinya yang semakin bertambah ukuran pakaiannya, Raknan berkebalikan. Tubuh adiknya itu semakin kurus karena kelumpuhan yang dia alami. Padahal dulu adiknya salah satu pemain basket terbaik di SMAnya.

Meski begitu Ema berusaha untuk mengembangkan senyum. Sebentar lagi, tidak akan lama lagi, kondisi mereka akan membaik. Dan hal sedih hari ini akan dikenang dengan senyuman karena mereka berhasil melalui semua cobaan dengan baik.

Bunyi roda yang bergesekan dengan lantai menarik perhatian Ema. Refleks, dia melirik ke arah pintu yang terbuka. Raknan memutar kursi rodanya memasuki kamar tidur, lalu berhenti di pinggir tempat tidur.

"Kak, lo serius?" tanya Raknan. Tatapannya terlihat iritasi melihat kopernya yang terbuka di ranjang dan sudah ada beberapa pakaiannya terlipat di dalam sana.

Bukannya langsung menjawab, Ema malah sibuk mengambil pakaian-pakaian terakhir Raknan di lemari. Dimasukan semuanya ke dalam kober barulah dia duduk di sisi ranjang yang menghadap sang adik.

"Ini buat kesehatan lo, masa nggak serius sih?" Ema mempertontonkan senyumnya, walau dalam hati agak sedikit nyes. Ditariknya kursi roda Raknan agar mereka lebih rapat.

"Kak Ema, terapi di Indonesia aja butuh biaya banyak apalagi ini lo kirim gue ke Jerman. Jujur sama gue, lo dapat duit dari mana?" desak Raknan.

"Nan, masalah duit biar gue yang cari. Lo nggak perlu mikir apa-apa. Oke? Fokus sembuh. Titik."

Mata Raknan menyipit. Tahu-tahu saja adiknya itu menghempas tangan Ema yang bersandar di kursi rodanya. "Lo bener-bener suspicious, Kak."

Kening Ema berkerut. Dia berpura-pura tak paham maksud sang adik. Walaupun sebenarnya dia tahu benar maksud Raknan apa jawabannya.

Raknan mendengkus keras. "Kak, gue ini cuma lumpuh. nggak bego ya. Pertama, lo tiba-tiba aja datang ke Panti malam-malam dan tinggal di sini. Besoknya lo bilang kalau gue bakal dikirim ke Jerman buat fisioterapi. Jerman, bukan somewhere in Jakarta. 80% gaji lo aja buat bayar utang, terus gimana bisa lo biayain gue ke luar negeri? Bang Kaisar juga nggak keliatan di mana-mana. Jadi, gue pantas curiga dan tolong jujur."

Napas Ema tertahan sesaat. Hanya saja dia memilih untuk kembali diam. Kepalanya terlalu rumit, bibirnya terlalu keluh, dan penjelasan apa pun yang akan dia berikan hanya akan berperkeruh apa yang sudah wanita itu putuskan.

Tiba-tiba saja Raknan meraih tangan Ema, lalu diremas kuat-kuat. Sorot mata sang adik berkobar oleh amarah. "Bang Kaisar sempet telepon gue buat tanya keadaan lo dan dia cukup jujur bilang ada masalah antara lo sama bokapnya. Gue khawatir sama lo, tapi Bang Kaisar selalu nenangin gue kalau dia bakal urus semuanya. Cuma mendadak gue nggak yakin kalau hubungan kalian bakal jalan lagi."

"Ke ...kenapa nggak yakin?" tanya Ema lambat-lambat. "Dia ... dia lagi di Paris ngejar restu."

"Karena segala hal mewah yang mendadak lo kasih ini, Kak." Raknan mendesah, lalu menggeleng. "Kak, kita pernah kaya dan kita punya banyak pengalaman dengan orang kaya. Segala masalah bisa diselesaikan dengan uang. Lo di sini bukan hanya karena nggak dapat restu, tapi lo pilih korbanin hubungan lo dan Kaisar demi kesembuhan gue, kan? Jujur! Lo pilih duit daripada kebahagian lo, kan?"

Ema menelan ludah banyak-banyak. Tatapannya nanar pada Raknan. Dia seperti dikuliti sekarang.

"Kak!"

"Kalau udah tahu itu, kenapa masih nggak mau sih buat ke Jerman dan berobat, Nan?" Ema ikut berteriak kesal. Giliran dia yang mengentak pegangan sang adik. "Kalau udah tau keputusan gue tolong kerja samanya."

BIG & BOSS (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang