Tiga jam dan tidak ada seorang pun yang berbicara. Satu-satunya yang mengisi keheningan hanyalah lagu-lagu yang berputar di radio. Pasca menangis, Ema hanya mau diam dengan pikirannya sendiri. Sedangkan Kaisar tampak menghormati keputusan wanita itu untuk tidak bersuara.
Hanya saja ketika akhirnya Mercy itu sampai di rumah. Ema mau tak mau bersuara begitu turun. Sopan santun pada Kaisar yang sudah meluangkan waktu dan tenaga untuknya dua hari ini.
"Makasih, Kaisar." Sekalipun sudah kembali ke realitas kehidupan sebagai asisten dan bosnya, Ema sepertinya terlalu enggan bersikap formal seperti sebelumnya. "Selamat malam."
Baru saja Ema berbalik, tiba-tiba lengannya dicekal. Mau tak mau wanita itu kembali menoleh. Ditatapnya sang bos lekat-lekat.
"Kamu nggak perlu balas ucapanku setelah ini, but please listen," pinta Kaisar yang hanya dibalas anggukan lemah Ema. "Aku tau Raknan ngajak kamu bicara hari ini, tapi aku nggak tau apa yang kalian obrolin sampai bikin kamu sesedih ini. Apa pun masalah atau kesedihan yang kamu hadapi, kudoakan segera berlalu. Tapi, aku berharap aku bisa liat senyum kamu besok, Emerald."
Untuk sesaat Ema tertegun. Cukup terkejut karena Kaisar mendoakannya dan memintanya tersenyum. Pria itu jelas bukan sosok tantrum yang dia temui pertama kali. Perubahannya cukup mengejutkan, tapi wanita itu cukup menyukainya.
Pada akhirnya, Ema hanya mengangguk memberikan jawaban. Anggukan ragu sebenarnya. Masalah apakah dia bisa tersenyum besok atau tidak bergantung bagaimana kerumitan pikirannya sepanjang hari ini. Namun, jika tidak bisa tersenyum, setidaknya wanita itu sudah sedikit banyak belajar memamerkan senyum palsu untuk beberapa momen penting.
Setelah mengatakan itu Kaisar langsung membiarkan Ema sendiri. Wanita itu terus bergerak menuju kamar tidurnya di lantai dua. Dia hanya mencuci tangan dan kaki, sebelum melesatkan dirinya di tempat tidur. Ema tertelungkup dengan wajahnya yang sengaja dibenamkan ke bantal.
Ingatan Ema langsung berputar kembali ke beberapa jam yang lalu. Saat dirinya sedang di kamar Raknan untuk melipat baju sang adik dan Raknan menghampirinya dengan kursi rodanya.
"Kak Ema."
Suara Raknan yang diikuti gesekan roda dengan lantai menghentikan Ema yang sedang melipat baju. Dia menoleh. Sang adik bergerak pelan mendekat.
"Nan," balas Ema. Keningnya berkerut menemukan kedua sudut bibir Raknan agak melengkung ke bawah. "Kenapa muka lo sepet gitu? Abis dikerjain anak-anak."
Gelengan Raknan semakin membuat kepala Ema bertanya-tanya. "Oke. Terus?"
Bukannya langsung menjawab, Raknan malah menghela napas dalam. "Lo ... nggak mau nikah?"
Pertanyaan tak terduga Raknan sukses membulatkan mata Ema. Masalah keinginan untuk tidak menikah ini seharusnya tak seorang pun tahu kecuali satu orang.
Dasar Kaisar ember! Ema mendadak sebal pada bosnya itu.
"Kaisar yang kasih tahu ya?" Ema malah balik bertanya. Ada nada tidak suka di sana.
"Nggak." Raknan kembali menggeleng. "Bang Kaisar diem aja, jadi gue nebak sendiri. Jadi, bener lo nggak mau married?"
Rasa kesal Ema pada Kaisar sedikit reda. Apabila benar bosnya itu diam saja, itu cukup membantu daripada berbicara dan malah menjadikan masalah lebih rumit daripada menjawab pertanyaan Raknan sekarang.
"Iya," aku Ema pada akhirnya.
"Kenapa, kak?" Raknan agak mendesak Ema.
"Ya, kenapa nggak boleh?" Ema mendengkus geli. Lebih tepatnya bersikap baik-baik saja sekalipun dalam hatinya ada sedikit keinginan untuk menikah dan berumah tangga, punya keluarga tambahan selain Raknan. Namun, pada akhirnya kondisinya memang tak cocok untuk menikah. "Nan, pernikahan bukan tujuan semua orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG & BOSS (TAMAT)
RomanceHidup Kaisar-Kai mendadak kacau saat dibangunkan seorang wanita berisi di dalam kamarnya. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Emerald-Ema. Tanpa persetujuan Kai, Ema sekarang menjadi asisten pribadinya yang super ikut campur. Segala hal mengenai...