Hari pernikahan bukannya tersenyum bahagia, Ema malah terus-menerus menangis. Tatapannya mengedar ke seluruh penjuru kamar yang digunakan sebagai tempat singgah sekaligus tempatnya bersiap-siap menunggu waktunya pemberkatan. Sepi, kosong, hanya ada barang-barang calon pengantin wanita, bunga mawar putih yang akan dibawa di altar, dan dirinya.
"Pa, Ma," bisik Ema tanpa sadar.
Sekarang perasaan semakin kacau saat ada kerinduan yang ikut memenuhi hatinya. Ema mulai berandai-andai kedua orang tuanya masih ada. Mungkin saat sedang bersiap-siap dalam rias pengantin, Berlian pasti sedang ikut ribut dan mengatur segala hal. Dia yang paling suka dengan perhiasan akan menaruh banyak sekali koleksi kesayangannya menempel di tubuh Ema. Sementara Hadi, Papanya tak akan di ruangan ini, tapi dalam katedral bersama Mahesa untuk menyambut tamu undangan mengingat bagaimana ramahnya sang Papa terhadap semua orang.
Seharusnya ada satu lagi keluarga Ema yang tersisa, Raknan. Sayangnya, dengan kondisinya yang masih dalam penangan dokter khusus tidak mengizinkannya untuk berangkat terbang belasan jam kembali ke Indonesia.
"Ini ... menyedihkan," bisik Ema.
Tiba-tiba saja ponsel Ema berdering. Diraihnya ponsel yang sejak tadi menganggur di atas meja riasnya. Nama Raknan di sana memaksanya untuk buru-buru menghapus air mata, barulah mengangkat panggilan video sang adik.
"Hey," sapa Ema. Tanganya melambai. Ada senyum palsu yang sedang coba dipasang.
Raknan terkekeh di ujung video. Kemudian, dia berdecak. "Lo abis nangis ya?"
Ema mengernyitkan kening. Sebelum akhirnya berpura-pura kesal. Tidak mau dia membuat Raknan khawatir karena ketahuan menangis di hari yang harusnya bahagia.
"Apaan sih? Enggak lah!" Ema agak menaikan intonasi suaranya.
"Kita lahir dari rahim yang sama. Hidup menderita bersama juga. Setidaknya lo kalau mau bohong yang pinteran dikit," ejek Raknan. "Jadi, kenapa lo nangis padahal bentar lagi lo mau nikah sama cowok yang bikin lo finally mau nikah?"
Seketika Ema menghela napas dalam-dalam. Rasanya agak menyebalkan karena sudah berusaha bersikap kuat, tapi ternyata tetap ketahuan lemah.
Tapi Raknan ada benarnya, mereka ini adik dan kakak. Setelah banyaknya hujan dan badai yang mereka lalui bersama, berusaha untuk berbohong kadang-kadang tidak berguna. Akhirnya satu-satunya yang Ema bisa lakukan hanyalah berkata jujur.
"Sedih aja, Nan. Gue nikah, tapi ... nggak ada siapa-siapa nemenin gue." Setitik air mata Ema kembali menitik. "Tapi lo bener, gue bersyukur banget bisa nikahin cowok yang bikin gue belajar banyak hal hingga menemukan apa arti kehidupan yang sebenarnya."
"Kak, sori ...." Suara Raknan yang berbisik dan sarat akan kesedihan itu menarik perhatian Ema. "Kalau aja gue bisa lebih paksa dokter-dokter itu, gue pasti sekarang udah sama lo."
"Nan, lo nggak salah kali." Ema mendengkus geli, walau matanya berkaca-kaca. "Makanya cepet sembuh cepet bisa jalan lagi biar lo bisa pulang ke Indonesia, jalan ke mana-mana dengan mudah. Ngerti lo?"
"Iya, iya. Basi ah motivasinya."
"Atau setidaknya kalau lo udah bisa jalan, lo nggak lagi insecure sama Kyara."
Kali ini ucapan Ema berhasil membuat senyum Raknan memudah. Tanpa sadar wanita itu mendesah napas panjang. Mau berada di ujung bumi yang lain pun adiknya itu masih belum bisa melupakan mantan kekasihnya atau sebenarnya masih kekasih. Ema tidak benar-benar tahu akhir hubungan mereka terlebih setelah Kyara hilang sejak pertemuan terakhir mereka di Puncak kala itu.
Suara deheman pelan menyentak Ema. Raknan berkata, "Tolong gue pengen lihat lo sama baju pengantin lo, Kak."
Ema manggut-manggut. Segera saja dia menaruh ponselnya kembali di meja rias dengan posisi punggung ponsel yang bersandar pada cermin di meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG & BOSS (TAMAT)
RomanceHidup Kaisar-Kai mendadak kacau saat dibangunkan seorang wanita berisi di dalam kamarnya. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Emerald-Ema. Tanpa persetujuan Kai, Ema sekarang menjadi asisten pribadinya yang super ikut campur. Segala hal mengenai...