Sepi.
Kini hanya ada Mina dan Jeongyeon yang masih betah memejamkan matanya di atas ranjang rumah sakit.
Mina sempat tertegun sesaat, mati-matian menghapus air mata yang sejak tadi membanjir di pipinya.
Ketika merasa siap, dia menarik napas dalam-dalam. Langkah kakinya perlahan membawanya mendekati sosok suaminya.
Angin sore yang hangat terasa mengalir dari luar jendela. Sisa-sisa cahaya kemerahannya merambat masuk membisikkan diri di atas tirai putih jendela rumah sakit yang masih berdansa dengan angin.
Kali ini bau khas rumah sakit tak lagi mengganggu indera penciuman Mina. Tak ada lagi yang bisa mengganggu pikirannya, termasuk peringatan serta ancaman yang diberikan Nayeon sebelumnya. Sekarang otaknya hanya penuh dengan sosok pemuda yang terbaring lemah di hadapannya.
Tangan kurusnya terangkat, dibelainya lembut sisi kepala Jeongyeon dan tanpa disadari sisi bibirnya telah membentuk sebuah senyuman.
"Jeong...."
Tak ada sahutan, Mina menghela napas kuat-kuat. Dia menyibakkan sedikit selimut yang menutupi tubuh Jeongyeon sembari melepas sepatu yang dikenakannya. Tanpa suara dia naik ke atas ranjang, berbaring tepat di sisi kiri Jeongyeon yang tidak bereaksi sama sekali.
Mina memandangi wajah Jeongyeon dari dekat. Tangannya yang setengah gemetar mencoba meraih tangan kiri Jeongyeon lalu mendekatkannya di dadanya sendiri setelah mengecupnya pelan.
"Kau sakit pasti karena aku, kan?" tanya Mina.
Dia tersenyum singkat sambil memejamkan matanya. Perlahan dia berbisik kalimat demi kalimat di telinga Jeongyeon.
"Aku minta maaf...karena keegoisan dan kebodohanku, kau malah menjadi seperti ini..."
"......"
"Tadi Nayeon unnie bilang padaku, appa dan eomma Yoo sedang dalam perjalanan pulang ke Korea. Mereka pasti sangat kecewa dan marah padaku. Tapi tidak apa, aku memang pantas menerimanya karena ini semua memang salahku..."
"....."
"Kau tahu, aku sangat takut sekarang....ketakutan yang kurasakan bukan karena mereka akan memarahiku atau mungkin menamparku...itu karena....hanya saja, aku sangat takut jika mereka mencoba memisahkanmu dariku...aku bahkan tidak sanggup membayangkan jika mereka benar-benar memintamu untuk menceraikanku..."
"......."
Jeongyeon masih tidak bergeming, sedikit napas yang teratur berembus dari mulutnya sementara Mina tak banyak bergerak, dia hanya merengkuh tubuh suaminya itu.
"Sepertinya, karma benar-benar telah datang kepadaku...hahhh..." Mina menghela napas, mencoba menahan tangis yang kembali mengancam untuk keluar.
"Appa bilang suhu tubuhmu menurun drastis. Kau kekurangan cairan dan tubuhmu sangat panas. Aku khawatir sekali padamu, Jeongyeon hiks..."
Tak dapat menahan lebih lama lagi, Mina akhirnya terisak. Namun dengan mudah bisa dia kuasai saat dia menghembuskan napas kuat-kuat.
"Sekarang pun tubuhmu masih terasa panas. Aku jadi ingat saat pertama kali aku melihatmu. Saat itu aku baru minum segelas wine, tapi tubuhku benar-benar sudah terasa panas seperti tubuhmu saat ini. Hanya sedetik dan aku langsung tertarik padamu. Kau tahu, aku bersyukur karena aku memutuskan untuk mengikutimu saat itu dan melihatmu menolak wanita itu. Karena kalau kau tidak menolaknya, aku tak mungkin mendapat kesempatan untuk...."
Mina tak melanjutkan kata-katanya karena menurutnya perbuatannya waktu itu benar-benar tidak pantas untuk dibicarakan saat ini. Walau begitu, dia masih benar-benar mengingat apa saja yang terjadi pada malam itu.
