"Aku menyukaimu, Jeongyeon..."
Jeongyeon terdiam sementara Jennie menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi. Meski teman-temannya sering mengatakan tentang perasaan Jennie padanya, Jeongyeon tetap tak bisa mempercayai apa yang baru saja di dengarnya.
Dia tidak tahu apakah Jennie benar-benar serius mengatakan hal seperti itu atau tidak. Tapi seingat Jeongyeon, Jennie bukanlah tipe anak yang akan bercanda dengan hal seperti ini.
Karena itulah, Jeongyeon benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya menggangap Jennie sebagai seorang teman, tidak lebih.
Dia memang menyayangi Jennie, tapi perasaan itu bukan ke arah yang romantis. Itu hanya rasa sayang seseorang kepada temannya.
Kepala Jeongyeon tiba-tiba saja terasa penuh. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan atau lakukan.
Dia tahu dia harus segera mengatakan sesuatu, apa saja selain mendiami gadis di depannya. Tapi bagaimana pun dia mencoba, dia tak bisa menemukan kata-kata yang tepat.
Entah kenapa, dia tiba-tiba saja kehilangan kemampuan untuk berpikir dan juga berbicara.
Jeongyeon kembali mencoba membuka mulutnya, namun menutupnya lagi setelah tiga detik dan tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Dia tidak tahu apa yang membuatnya bingung. Dia tidak mencintai Jennie, tapi kenapa begitu sulit mengatakan bahwa dia tidak bisa menerima perasaannya.
Dia sudah menikah dan sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. Dia juga tidak bisa mengatakan bahwa dia memiliki seorang istri dan menjelaskan situasinya saat ini.
Seperti mengetahui kebingungan yang tengah menyerang Jeongyeon, Jennie tersenyum dan memutuskan untuk mengatakan sesuatu untuk memecahkan keheningan yang menyelimuti mereka.
"Aku mengerti..." suara Jennie begitu lembut dan nyaris tidak terdengar.
Jeongyeon bahkan harus menajamkan pendengarannya untuk dapat mendengar dengan jelas apa yang di katakannya.
"Tidak perlu menjelaskannya padaku. Aku mengerti, Jeongyeon. Aku...aku hanya ingin mengatakan perasaanku padamu. Aku tidak berharap kau membalas perasaanku..."
Jeongyeon menatap Jennie namun gadis itu menunduk, menyembunyikan wajahnya sehingga dia tak bisa melihat raut wajahnya.
"Aku sudah tahu kalau kau sudah menikah..."
Deg
"A-apa?" Jeongyeon membelalakan mata.
Tunggu...
Apa dia tidak salah dengar?
Jeongyeon benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Dia ingin menanyakan banyak hal, tapi ketika melihat Jeninie hendak membuka mulutnya, Jeongyeon memilih untuk tak mengatakan apa-apa dan hanya menunggu gadis itu menjelaskan sambil mencoba menenangkan diri.
Tidak, dia tak perlu panik.
Tapi, Jennie mengetahui statusnya?
Bagaimana bisa?
Selama ini, dia berusaha keras untuk menutupi dan merahasiakan pernikahannya dengan Mina. Dia bahkan selalu berhati-hati dalam bertindak.
Tapi, kenapa?
Kepala Jeongyeon di penuhi berbagai macam hal yang menbuatnya semakin panik, tapi gadis di depannya tampak begitu tenang.
"Istrimu sangat cantik, ya...." kata Jennie sambil tersenyum.
Sayangnya Jeongyeon tidak bisa melihat matanya yang tersembunyi di balik poninya sehingga dia tak bisa membaca ekspresinya.
"Wajar kalau kau sangat mencintainya dan dia juga kelihatannya sangat mencintaimu. Buktinya dia berani datang ke sekolah hanya untuk melabrak kakekku dan membelamu..."