63. Bro's

460 21 1
                                    

vote & comment

"Do, lo jahat banget, gak mau kasih jawaban ke gue." Ega bersungut sebal setelah keluar dari ruang kelas sambil menggendong ranselnya yang kosong melompong.

Edo yang lelah menjelaskan, terus saja melangkahkan kaki menuju kantin. Tenggorokannya kering akibat ujian selama satu setengah jam dan tidak diperbolehkan untuk membawa masuk minuman ke dalam kelas. "Gue bilang kan gak ngerti jawabannya."

"Tapi, lo jawab semua soalnya tadiii—" Ega masih bersikukuh menyalahkan Edo, berusaha menyamai langkah yang sebentar lagi sampai di kantin pusat universitasnya. Kantin yang super ramai karena berbagai makanan dan minuman yang sangat lengkap, membuat siapapun betah untuk menghabiskan waktu di sini.

Edo segera menuju ke salah satu meja yang kosong, kemudian meletakkan tas slempangnya dengan kasar di bangku. "Ya gue jawab, tapi gue karang! Lo mau gue kasih jawaban yang salah?" jawabnya dengan nada meninggi.

"Hash!—"

"Pada ngeributin apa, sih?" Sahut Axel dari belakang yang ternyata sedari tadi mengikuti dan menyimak obrolan mereka berdua. "Berisik amat lo pada."

"Ini lo, Xel, si Ega. Dia maksa banget biar gue kasih contekan, padahal mah gue juga gak yakin sama jawaban gue. Tapi, dia ngotot nyalahin gue." Edo mencurahkan isi hatinya yang jengah dengan drama percontekan Ega.

"Cukup tau, Do, lo egois!" Ega membuang muka seraya bersedekap dada. Jelas kan, cowok ini memang drama king!

"Apa sih, lo? Alay banget ngatain gue egois?" "Makanya, kalo malem tuh belajar, bukan malah marathon nonton animeee." Edo mencibir, kemudian mengambil sebatang rokok milik Axel lalu menyulutkan korek dan mulai mengepulkan asap dari mulutnya. Percuma menjelaskan berkali-kali, Ega juga tetap akan terus menyalahkannya.

"Xel, kata pak ustadz, kalo orang pelit tuh kuburannya sempit, kan?" Ega menarik perhatian Axel sambil menoel lengan lelaki yang duduk di sebelahnya. "Biar si Edo dihimpit liang lahat, sampai tulang-tulangnya remuk, biar tau rasa."

"Amit-amit!" Refleks, Edo menepuk meja beberapa kali lalu menepuk ke kepalanya. "Lo kok jadi ngatain gue, sih?"

"Ya lo yang nyebelin, gak setia kawan banget—"

"Lo yang bego! Soal gitu aja gak bisa jawab!"

"Wah, anjir! Ngatain gue, lo?"

"Iya!"

"Sini by one!"

"Sssst! Ngapain sih, kalian ini? Kayak bocah SD aja!" Axel menengahi seraya menggebrak meja, membuat beberapa orang di sekitarnya terkaget. "Kalian bentar lagi lulus kuliah, masa masalah sepele kayak gini dibesar-besarin?"

"Ga, coba lo inget, berapa banyak kebaikan Edo yang udah lo rasakan selama ini?" Axel melanjutkan ucapannya. "Sekarang, sebaliknya, berapa banyak kebaikan Ega yang pernah lo dapetin, Do?"

"Kita ini sahabat, temenan lebih dari 5 tahun. Janganlah rusak persahabatan hanya karena masalah sepele kayak gini. Kalau nilai lo jelek, Ga, lo masih bisa ikut remedi di semester pendek. Oh come on! Udah gak waktunya menye-menye ngurusin ujian yang masih ada banyak jalan keluarnya! Sekarang, lebih baik kalian pikirkan, semester depan mau ambil skripsi apa? Jangan sampai salah pilih dan menyusahkan kalian lagi nantinya." Axel menuturkan nasehatnya, berharap kedua sahabatnya itu bisa kembali berbaikan.

Keduanya manggut-manggut mendengar celotehan Axel, yang sebenarnya ... tidak begitu mereka gubris. Edo dan Ega masih saling melempat tatapan sinis dan enggan berbaikan meskipun dipaksa Axel untuk saling berjabat tangan. Namun, gengsi yang setinggi langit menghalangi niat baik itu.

"Dah lah, gue gak mau ikut campur lagi kalau kalian ada masalah, daripada gue gak dianggap kayak gini," ujar Axel yang justru berbalik merengut.

Napas kasar diembuskan Ega, lantas ia mengulurkan tangan untuk meminta maaf. Edo pun membalas uluran tersebut, kini keduanya sudah berbaikan dan kehangatan mulai kembali menyelimuti.

"Pokoknya, apapun yang terjadi, mau masalah kecil atau besar, kita harus tetap solid!"

"Solid!"

Suasana berubah. Semula tegang kini menjadi cair. Ketiganya cekikikan. Axel menyalakan korek api dan membakar rokok yang sudah terselip di bibir. Sementara, Edo beranjak memesan mie ayam untuk mereka bertiga. Dan Ega, ia bersiap melanjutkan menonton anime kesukaannya, apalagi kalau bukan One Piece.

"Heleh, anime lagi, anime lagi. Dasar wibu bau bawang!" Edo mencibir setelah kembali dari lapak Pak Juned dan membawa beberapa snack ringan.

Kontan tangannya dipukul keras oleh Axel. "Jangan mulai," sahutnya, sontak membuat Ega tersenyum lebar dan puas melihat Edo kembali dimarahi Axel.

"Eh, Xel." Ega mem-pause anime tersebut dan memusatkan perhatian kepada Axel di hadapannya. "Aurel beneran tinggal sama lo?" tanyanya, dijawab anggukan oleh Axel. "Nyokap gimana? Gak masalah kalian tinggal serumah?"

Axel menggeleng, tangan kiri terselip sebatang rokok, sementara tangan kanannya membuka bungkus jajanan yang dibeli Edo. "Justru nyokap yang nyuruh Aurel tinggal di rumah gue. Dia prihatin setelah gue ceritakan kondisi Aurel yang sebatang kara."

"Artinya, semakin dekat lo sama Aurel, semakin besar pula kesempatan kalian untuk balikan?" celetuk Edo di sela-sela kunyahan kripik pedas itu.

Lantas, Axel tersenyum simpul seraya menghisap rokoknya. "Semoga, ya."

Tongkrongan di meja nomor tujuh itu terus membahas hal-hal random yang berhasil membuat mereka menjadi pusat perhatian. Namun, siapa yang berani mengusik, kalau di situ ada Axel? Sementara di meja nomor lima, yang posisinya tak jauh dari mereka, tampak Luna duduk memunggungi, seorang diri. Botol mineral yang digenggamnya tak sengaja diremas begitu saja hingga menjadi peyot setelah mendengar pernyataan bahwa seorang gadis kini tinggal satu atap dengan Axel, lelaki yang masih terus-menerus mengisi hatinya. Yang lebih membuatnya kesal, gadis tersebut adalah seseorang yang pernah ia tolong.

Luna murka.

•••

11/03/24

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sejauh Bumi & MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang