57. Nice info

233 17 3
                                    

vote & comment

"Ga, lo ke kiri, Ga! Ada musuh di belakang lo!" Axel berseru meneriaki teman segrupnya untuk mengatur formasi agar permainan dapat selesai dengan hasil memuaskan. Jemarinya tampak lincah memainkan game online yang sedang booming. Beberapa kali umpatan keluar dari mulutnya ketika sang musuh berhasil melakukan penyerangan terhadapnya, namun bukan Axel namanya jika ia tidak keluar sebagai pemenang.

Raut bangga terlukis di wajah tampan itu. Senyum merekah yang menampakkan deretan gigi tak hentinya terukir, mewakili perasaan gembira karena memenangkan babak ini. Sedetik kemudian, iris abunya teralihkan pada sebuah motor yang berhenti di hadapannya, lantas dimasukkannya ponsel berkamera tiga itu lalu bangkit dari duduknya di atas jok motor. "Hai, Aurel!"

Sebelah alis Aurelia terangkat ketika mendapati sosok Axel tengah menunggu di depan pagar rumah. Ia melirik jam tangan yang menunjukkan pukul empat sore, lalu menghela napas berat seraya membuka gembok yang tertaut di gerbang. "Lo ngapain ke sini? Gak kuliah?"

Axel menggeleng, matanya tak berkedip mengamati paras ayu Aurelia. "Ada yang pengin gue bahas."

Aurelia tak langsung menanggapi, ia kembali menaiki motor dan memarkirkannya di perkarangan rumah. Sama seperti yang dilakukan Axel, memarkirkan motor hitam kesayangannya itu di sebelah motor Aurelia.

"Masuk, Xel." Aurelia mempersilakan tamunya untuk masuk ke rumah. Ia lelah, tak bertenaga untuk adu argumen atau sekadar ngomel kepada lelaki itu. Kontan, Axel segera melepas sepatunya dan memasuki rumah yang sudah lama tak ia datangi. Tak ada yang berubah dari tatanan perabot itu. Lantas, ia duduk di sofa di ruang tamu, menunggu Aurelia untuk berganti pakaian.

Axel kembali memainkan ponselnya, membuka aplikasi Instagram untuk melihat pesan yang dikirimkan Ega melalui Direct Message, sambil sesekali tersenyum. Pasalnya, sahabatnya itu kerap mengirim reels berisi video lucu.

"So, apa yang mau lo bahas?" Aurelia memecah keheningan, seragam kerja telah digantikan dengan kaos putih polos dan celana pendek hitam. Ia duduk di sebelah Axel, tanpa merasa kikuk, karena sudah sering bertemu.

Buru-buru Axel meletakkan ponselnya di meja, kemudian mengubah posisi duduknya sedikit miring untuk menghadap Aurelia. "Rel, lo masih pengin kuliah, kan?" tanyanya dengan hati-hati, takut menyinggung perasaan gadis itu. Namun, tanyanya tak dijawab, lantas ia kembali berucap, "gue punya teman yang bisa bantu daftarin kuliah lo dengan beasiswa penuh. Syaratnya cuma KTP, Kartu Keluarga, Ijazah SMA." Ia menghela napas sejenak dan melanjutkan ucapannya, "tapi, pilihan program studinya Hukum, lo mau?"

Aurelia terdiam, sorot matanya tak dapat dibohongi jika ia benar-benar terkejut dengan informasi yang diberikan Axel. Sudah lama ia ingin melanjutkan studi, dan mungkin doanya itu dikabulkan Tuhan di hari ini. Refleks, ia meremas tangan Axel dengan tatapan serius. "Gue beneran bisa dapet beasiswa itu, Xel?"

Axel mengangguk, seraya mengusap tangan Aurelia dengan lembut. "Kita coba dulu, ya. Semoga teman gue berhasil lobby bokapnya untuk kasih kesempatan itu buat lo."

Sontak, mata Aurelia berbinar-binar. Ia mengangguk beberapa kali dan berhambur memeluk Axel dengan erat. "Makasih, Xel! Makasih, lo udah bantu untuk wujudin cita-cita gue."

"Eng ...." Axel terkesiap, jantungnya berdegup cepat. Keringat mulai membasahi kening, bukankah ini yang ia harapkan? Kontak fisik dengan gadis yang berhasil membuatnya gagal move on selama bertahun-tahun.

"Gue kumpulin dulu berkasnya, ya!" Aurelia bergegas ke kamar, dengan langkah yang dipercepat. Rambutnya yang digerai tampak bergerak ke sana kemari mengikuti irama langkah kakinya. Ia menaiki kursi kecil untuk mengambil stopmap di atas lemari, kemudian mulai mencari dokumen yang dibutuhkan.

Matanya memicing, menelisik satu persatu sekumpulan kertas penting yang dijadikan satu dalam stopmap biru itu, ekspresinya tampak gembira ketika berhasil mengumpulkan semuanya. Lantas, ia bangkit dan kembali menghampiri Axel. "Ini, Xel!" ucapnya seraya meletakkan beberapa tumpuk kertas di atas meja. "Terus, berkas ini diapain?"

Axel terkekeh mendengar pertanyaan polos Aurelia, lalu meraih ponselnya, membuka aplikasi scan dan mulai mengambil satu persatu berkas itu. "Gue scan dulu, terus gue kirim ke temen."

Aurelia mengangguk dan menurut saja, membiarkan Axel melakukan tugasnya. Ia mengamati dengan saksama bagaimana Axel dengan sigap melakukan itu, dalam hati ia membatin, "gue tau, lo pasti kerja keras untuk bantu gue biar bisa kuliah lagi. Makasih, Axel."

"Nah, udah." Hanya lima menit, seluruhnya sudah selesai dipindai lalu dikirim kepada Luna. Axel kembali menatap Aurelia dengan lamat-lamat. "Rel?"

"Iya?"

"Lo punya makanan, gak? Gue laper."

Sontak, Aurelia terkekeh pelan dan bangkit dari duduknya. "Gue gak masak, tapi gue punya mie instan. Lo mau?" tanyanya, dijawab anggukan oleh Axel. Lantas, ia bergegas menuju dapur, mengambil sebungkus mie instan rasa original kemudian memanaskan air dalam panci. Ia mengambil piring untuk menaburkan bumbu-bumbu itu dan mencampurkannya secara perlahan sembari menunggu air untuk merebus mie itu mendidih.

Namun, tiba-tiba Aurelia dikejutkan dengan kehadiran Axel yang berdiri di sebelahnya. Ia memasukkan mie ke dalam panci itu dan mulai mengaduk-aduk menggunakan garpu. "Lo tunggu di ruang tamu aja, Xel."

"Gue pengin nemenin lo," jawab Axel dengan santai. Sudut bibirnya tertarik ke atas melihat kepedulian Aurelia terhadapnya. Tak ada niatan mengganggu, ia mengamati gadis itu yang tengah sibuk menyiapkan makanan untuknya. Setelah mie goreng itu matang dan dicampurkan dengan bumbu dalam piring, lantas Axel mendekap pinggang Aurelia dan mengubah posisi gadis itu agar berhadapan dengannya.

Kini, keduanya saling bertukar pandang. Aurelia yang tak mengerti maksud Axel hanya diam, membiarkan lelaki itu melakukan aksinya. Seketika, ia terenyak ketika tangan Axel mengusap pipinya, jantungnya berdegup kencang. Namun, ia tak ingin melawan. Kepalanya sedikit tertunduk karena tak kuasa menahan grogi saat bertatapan dengan Axel, dan sedetik kemudian ia terkejut ketika bibirnya dikecup oleh Axel. Ia mendorong pelan tubuh Axel agar menjauh, tapi lelaki itu tak bergerak sedikit pun dan justru semakin memperdalam ciuman. Hingga akhirnya ia pun turut terbuai dalam nuansa romantisme keduanya.


Hi, apa kabar?
Cerita ini dilanjut karena banyak sekali pembaca yang masih antusias. Terima kasih, ya.
Tolong tinggalkan vote & komen agar aku semangat untuk menamatkannya.

Sejauh Bumi & MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang