vote & comment
•"Axel, Mama mau bicara sebentar." Yuliana menahan langkah sang anak ketika fokusnya teralihkan pada sosok yang tengah melangkah lesu menyusuri ruang tamu. Ia meletakkan kacamatanya di atas laptop, kemudian bangkit untuk menghampiri Axel. Sebelum melanjutkan ucapan, beberapa detik ia pandangi wajah anak sulungnya itu yang tampak muram, lantas helaan napas berat lolos dari mulutnya. "Kamu ada masalah apa? Mau cerita sama Mama?"
Axel menggeleng seraya mengedikan bahu. Ia malas menjawab, tenaganya terkuras habis mengurus Luna. Cukup lama ia menenangkan gadis itu sampai akhirnya bisa pulang ke rumah, di jam sebelas malam ini. Iris abunya melirik ke arah sofa yang dipenuhi berkas pekerjaan sang mama. "Mau ngomong apa, Ma?"
Yuliana maju satu langkah, menggenggam kedua tangan Axel dan mengusap pelan punggung tangan anaknya. "Mungkin ini bukan waktu yang tepat, tapi Mama gak tau lagi harus bahas ini kapan, karena intensitas kita untuk bicara sangat minim—"
"Ya itu karena Mama yang super sibuk sama kerjaan, sampai lupa kalau masih punya anak yang namanya Axel," jawab lelaki berkaos hitam itu dengan sinis. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, enggan menatap wanita di hadapannya.
"Mama memang kurang kasih kamu perhatian, tapi kesibukan ini juga untuk masa depanmu," ujar Yuliana, sebijak mungkin ia menjawab ucapan sarkas anaknya itu. "Di sini, Mama berperan ganda, melakukan tugas seorang ibu sekaligus ayah. Kalau boleh jujur, Mama juga capek kerja mati-matian dari pagi ke malem, lembur tiap hari, sampai gak punya waktu untuk bercengkrama denganmu. Tapi, keadaan membuat kita harus menjalani hidup yang seperti ini."
Tak ada tanggapan dari Axel. Lelaki itu memejam sesaat, mencerna kalimat sang mama. Mau bagaimana pun marahnya ia kepada mamanya, ia tak boleh egois jika semua itu memang demi kebaikan bersama. Axel berusaha semampunya untuk mengontrol pikirannya agar bisa lebih dewasa dalam bersikap, terbukti kali ini tidak ada ucapan kasar atau amarah yang disampaikan olehnya, melainkan hanya kalimat sarkastik. "Oke, aku paham. Ada lagi yang mau Mama bahas?"
Yuliana sempat menggigit kuku tangannya, wajahnya tampak cemas, namun ia berusaha tenang. "Kamu tau kan, Mama sudah dekat dengan Om Adit sejak lama? Dia sebenarnya ingin segera menikahi Mama, tapi kami belum bisa ke tahap itu kalau kamu belum merestui."
Tepat seperti dugaannya, Axel hanya manggut-manggut sambil terkekeh pelan. "Sejak kapan sih, Mama dengerin pendapat Axel untuk ambil sebuah keputusan?" tanyanya lagi-lagi dengan sarkas, kontan Yuliana pun terperangah.
Axel memasukkan satu tangan ke kantong celana jeans, kemudian menengadah menatap langit-langit, berusaha menyembunyikan matanya yang mulai berair. Ia teringat sesuatu. Dua minggu yang lalu, dirinya mendapat kiriman berupa amplop cokelat yang berasal dari Amerika Serikat, saat dibukanya amplop itu, ternyata terdapat foto yang di bagian belakangnya bertuliskan surat singkat dari si pengirim. Sudut bibir Axel tertarik ke atas ketika ingat ekspresi ketiga orang dalam foto itu, rupanya adek tirinya kini telah berusia lima tahun. "Keluarga cemara," batinnya.
Kini, Axel dihadapkan lagi dengan kenyataan bahwa mamanya telah mencintai lelaki lain. Ia tak ingin egois, bagaimana pun ... sang mama berhak untuk mencari kebahagiaan. Sudah cukup lama wanita itu membesarkan dirinya selama 7 tahun terakhir tanpa sosok suami yang mendampingi. Mungkin, ini saatnya sang mama untuk merajut kasih bersama pria pilihannya. Lantas, Axel kembali menatap mamanya dengan sorot tajam. "Aku gak akan larang Mama mau menikah dengan siapa pun, asal calon suami Mama jelas latar belakangnya dan dia harus janji untuk tidak menyakiti Mama."
Sontak, Yuliana menetaskan air mata, haru mendengar penuturan sang anak yang menyetujui pernikahannya itu. Ia pun langsung memeluk Axel dengan erat, berkali-kali mengucap terima kasih, karena impiannya untuk menikah dengan rekan kerjanya itu sebentar lagi akan terwujud.
"Tapi, aku punya satu syarat." Axel kembali berucap, suara beratnya menandakan jika kali ini ia akan memohonkan sesuatu hal yang serius. Ia melepas dekapan itu, menatap manik hitam sang mama lekat-lekat. "Tolong, Mama restui hubunganku dengan Aurel."
"Aurel?" Yuliana menyebut nama itu dengan sedikit kaget. "Aurel teman SMA kamu?" tanyanya lagi, Axel mengangguk. Kontan, ia pun terperangah seraya meremas tangan sang anak. "Mama ingat betul tentang Aurel, bagaimana dia sangat menyayangi kamu. Kalian pacaran lagi?"
"Belum, tapi akan." Axel menjawab singkat. "Adil, ya? Mama minta restu untuk menikah, sekarang aku juga minta Mama untuk merestui hubunganku sama Aurel. Deal?"
•
Waduh, semakin kompleks nih.
Tapi, tamatnya masih lama hihii
Vote & comment ya, biar semangat ngetik 🫶🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejauh Bumi & Matahari
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM BACA] Genre: Teenfiction - Young Adult | 17+ "Lo sengaja usik gue buat dapetin perhatian gue, kan?" Axel menaikkan turunkan aslinya. "Gak usah sok polos. Gue tau, lo naksir gue." Aurelia mencondongkan tubuhnya, sontak Axel terkesiap...