💫💫💫
"Sadar, Xel! Lo bukan tandingan dia!" Edo menggeram seraya menendang pintu ruangan hingga menimbulkan suara gebrakkan yang keras. Ia berlalu lalang dengan emosi yang kian membara. Apalagi kalau bukan karena menanggapi keras kepalanya Axel.
Melihat Edo yang terus marah, tak membuat Axel mengurungkan niatnya. Ia membiarkan Edo bicara seorang diri, sementara dirinya sibuk melilit tangan dengan kain putih. Keringat mulai membasahi dada bidangnya, karena ruangan itu sangat pengap.
"Xel, lo dengerin gue gak, sih?!" Edo berteriak frustrasi seraya menghadap Axel yang duduk di dipan kayu. Edo mengusap wajahnya dengan kasar, tak tau lagi harus memperingati Axel dengan cara apa, karena hanya membuat mulutnya berbusa tanpa hasil.
Edo berdecak sebal, lalu duduk di kursi merah yang busanya sudah tipis. Ia mengeluarkan ponsel dari saku kemeja dan mengetik pesan pada seseorang. Ia berharap, cara terakhir ini mampu menghentikan Axel dari aksi gilanya.
"Gue gak akan berhenti sampai balas dendam gue berhasil," ujar Axel dengan sorot elang. Suasana sunyi menciptakan aura seram yang dapat dirasakan Edo. "Lo tau kan, siapa yang bisa bikin gue waras lagi?"
"Xel—"
"Dan sekarang, gue kehilangan dia. Artinya, gue kehilangan kewarasan gue juga." Axel menghela napas berat, manik abunya menekuri lantai keramik hitam. "Gua gak tau gimana menjalai hidup ini tanpa dia."
"Lo boleh cinta, tapi jangan buta!" Edo membentak seraya menyibakkan poni ke belakang. "Sebelum kenal dia, lo bisa menjalani hidup dengan baik. Begitu juga sekarang, meski kalian putus, bukan berarti kehidupan lo ikut berakhir!"
Axel tersenyum sinis mendengar penuturan Edo. Ia menahan emosi agar tidak dilampiaskan pada Edo yang sedari tadi justru memancing emosinya. Axel mendongak, menatap Edo yang kini bersandar di daun pintu. "Gue gak peduli lo mau ngatain gue cinta buta, bucin atau apalah itu. Yang jelas, kebahagiaan gue cuma Aurel."
"Xel ...." Edo mendesah, lelah menyikapi Axel yang terus berkutat pada masalah ini tanpa berniat menyudahinya. "Gue tau lo patah hati, hancur dan kehilangan arah. Tapi, jangan lampiasin ke hal yang bisa mencelakai lo. Inget, pertandingan kemarin lo kalah dari Tio. Lo babak belur, dan sekarang lo mau mengulang itu? Lo bego, Xel!"
"Emang." Axel menyahut, tercetak senyum getir di bibirnya. Ia tau pilihannya ini bukannya memberikan solusi, tapi malah menimbulkan masalah baru. Ia masih ingat, pertandingan antara dirinya dengan Tio tempo hari, bagaimana Tio memukulinya hingga babak belur. Bahkan luka itu pun masih bisa dirasakan sampai sekarang. Tapi, Axel sudah membulatkan tekad untuk mengulang pertandingan itu. Ia yakin, kali ini bisa mengalahkan Tio.
"Aurel juga pasti benci ngelihat lo kayak gini, Xel! Lo lupa, gimana khawatirnya Aurel waktu lihat lo gak sadar dan babak belur kayak kemarin? Apa lo pengin bikin dia khawatir lagi?" Edo berusaha menurunkn nada bicaranya, berharap Axel dapat luluh.
Gelengan Axel menandakan ia merasa tak memiliki harapan. Ia mengambil ponsel dari ransel di sebelahnya, kemudian menelepon seseorang dan diarahkan layar ponsel itu ke hadapan Edo seraya menyalakan tombol speaker.
"Maaf, nomor yang anda tuju, sedang sibuk ...."
Axel mengulas senyum tipis disertai raut kecewa di wajahnya. Ia memasukkan ponsel itu lagi ke ranselnya dan menatap Edo dengan nanar. "Gue bakal berhenti, kalo Aurel dateng ke sini dan minta gue untuk berhenti."
Edo mendengus sembari membuang pandang ke sudut ruangan. Tak dipungkiri, ia pun merasa kasihan pada Axel. While every girl is chasing on Axel, but he stuck on someone who didn't care about him at all.
"Fine! Kalo itu mau lo, sekarang kita ke ring. Tio udah nunggu di sana, dia bilang pengin liat lo kalah untuk kedua kalinya!" Edo membuka pintu dengan kasar, meninggalkan Axel seorang diri. Ia terus melangkah menyusuri lorong yang hanya diterangi lampu kuning ber-watt kecil. Ia tau, Axel mengikutinya di belakang, dan dalam hati ia terus berdoa, semoga kali ini Tuhan berpihak pada mereka. Semoga gadis yang dikirimi pesan tadi, menampakkan hidung dan bisa membuat Axel mengurungkan niatnya.
Ring tinju di pusat ruang utama mulai sesak, karena semua orang mengambil posisi untuk menonton pertandingan malam ini. Pertandingan ini pasti seru, karena mereka berpikir ini merupakan ajang balas dendam Axel yang dikalahkan Tio.
Di sisi kanan ring, Tio duduk santai seraya menikmati pijatan di punggungnya dan mendengarkan arahan sang pelatih. Sementara Axel duduk di sisi kiri, menerima minuman yang disodorkan Edo dan menatap nyalang Tio di seberangnya.
Tak ingin membuang waktu, pertandingan pun dimulai oleh wasit. Axel dan Tio saling menghindar dari pukulan lawan. Tio dengan wajah sombongnya, tersenyum puas saat berhasil membuat Axel tak berdaya dan tersungkur lemas di lantai. Ia berkacak pinggang, menunggu Axel untuk bangkit dan tak sabar untuk kembali menghabisinya lagi.
Luka memar di pelipis Axel tak membuat cowok itu patah semangat. Ronde kedua dimulai, Axel mengatur strategi untuk menghindari pukulan Tio. Kali ini kedudukan pun seimbang, karena Axel berhasil melumpuhkan Tio.
Cowok berambut jabrik itu mengerang saat merasakan hantaman di wajahnya. Ia berusaha mengumpulkan tenaga dan bangkit dengan tumpuan kaki yang mulai melemah. Ronde ketiga alias ronde terakhir menjadi penentu siapa yang akan menjadi juara.
Peluh membasahi tubuh keduanya, sorak penonton memberikan semangat tersendiri bagi petarung untuk menunjukkan siapa yang berhak disebut The King of The Riot Boxing. Keduanya saling melempar tatapan tajam, tanpa aba-aba Axel langsung melayangkan tinjuan saat Tio lengah, dan membuat cowok itu kontan kehilangan keseimbangan dan ambruk.
Axel duduk di atas tubuh Tio dan terus memukuli wajah cowok itu dengan brutal. Meski wasit sudah berkali-kali melerai, namun Axel tetap abai dan melampiskan segalanya pada Tio. Suasana semakin gaduh, penonton berdesakkan mendekati ring dan menonton kejadian itu dengan saksama, bahkan banyak pula yang merekam kejadian itu untuk diviralkan ke media sosial.
"Xel! Stop!" Edo terus berteriak seraya menahan tangan Axel, namun Axel justru mendorong Edo hingga terjengkang. Kini, beberapa orang terpaksa masuk ke ring, termasuk pelatih Tio. Mereka berusaha melerai Tio yang sudah pingsan dan Axel yang masih belum puas memukuli sang lawan.
Dengan sekuat tenaga, akhirnya Axel dapat dijauhkan dari Tio. Petugas medis yang siaga langsung membawa Tio dengan tandu menuju klinik terdekat. Sementara Axel menghempaskan diri ke lantai sembari memandangi langit-langit yang kotor, penuh debu dan sarang laba-laba.
Axel memejam sesaat, karena lampu berwarna kuning itu menyilaukan matanya. Sedetik kemudian, ia kembali membuka mata dan melihat bayangan Edo sedang meneriakinya. Ia berharap sosok di hadapannya saat ini adalah Aurelia. Namun, gadis itu sama sekali tak datang. Sepertinya, memang sudah tak peduli lagi.
Axel tersenyum getir, pandangannya mulai kabur dan samar-samar ia mendengar ucapan Edo. Dengan tenaga yang tersisa, bibirnya yang penuh luka itu dipaksa untuk menanggapi. "Lebih baik ... gue mati."
🐭🐭🐭
Published : 10 Juli 2020
Love,
Max
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejauh Bumi & Matahari
Novela Juvenil[FOLLOW SEBELUM BACA] Genre: Teenfiction - Young Adult | 17+ "Lo sengaja usik gue buat dapetin perhatian gue, kan?" Axel menaikkan turunkan aslinya. "Gak usah sok polos. Gue tau, lo naksir gue." Aurelia mencondongkan tubuhnya, sontak Axel terkesiap...