53. Poor Her

325 18 1
                                    

"Gue beneran gak nyangka, hidup Aurel semenyedihkan itu." Ega angkat bicara setelah menjeda game konsolnya, kontan Edo sebagai lawan bermain pun berdecak kesal ketika hampir saja menggolkan bola, namun terjeda begitu saja. Minuman kaleng yang berserakan di dekat mereka pun langsung disambar oleh Ega—lelaki berambut lebat yang kerap disibak ke belakang.

Desisan Edo yang tak terima dengan tingkah laku menyebalkan Ega, kontan keduanya saling bertukar pandang dengan sengit. "Bahasa lo gitu banget? Seolah-olah Aurel hidup dalam penderitaan yang mendalam."

"Lah, kan bener?" Ega menaikkan satu alis, beralih menatap Axel yang sedang tiduran di kasur seraya bermain ponsel, scrolling timeline Twitter. "Gue gak salah denger kan, Xel?"

Bukannya langsung menjawab, Axel justru mengembuskan napas berat. Ia mengubah posisinya yang semula tengkurap kini menjadi telentang, kepalanya menengadah mengamati langit-langit kamar. Suasana temaram dan suhu AC yang dingin, membuat mereka betah berlama-lama di situ. "Aurel emang lagi down banget." Satu kalimatnya menyita atensi, Ega dan Edo benar-benar melupakan permainan yang sebentar lagi usai.

Babak kedua sudah jelas dimenangkan Edo, karena tim sepak bolanya unggul 3 skor, sementara Ega hanya mendapat 1 skor. Pembicaraan mengenai Aurelia memang sempat dibahas sebelumnya, saat sahabatnya tak sengaja bertemu gadis itu di minimarket, sejak itulah mereka yakin bahwa Axel masih belum move on dari sang mantan.

"Gue pengin bantu dia." Axel kembali berucap, sesaat ia menghirup udara sebanyak-banyaknya seraya memejamkan mata. Tangan kanannya menggenggam ponsel, sementara tangan kiri menutupi sebagian wajahnya. "Kasihan banget, seharusnya dia bisa dapet pendidikan yang lebih layak, tapi harus putus hanya karena biaya."

Edo mengubah posisi duduk, berbalik menghadap Axel, meskipun yang sedang diajak bicara saat ini masih enggan menatap dirinya. "Gimana lagi? Setiap orang punya masalah, dan ini cobaan yang harus dijalani Aurel. Kita tau, saat SMA dia termasuk murid berprestasi, tapi nyatanya ... yang berprestasi pun tak semudah itu untuk menggapai cita-cita."

"Setuju!" Ega menyela, kunyahan pizza masih belum ditelannya, namun ia memaksakan diri untuk bercerita. "Jaman sekarang, yang berprestasi bisa tenggelam, sementara yang kontreversi justru dapat panggung."

Desahan berat diembuskan Edo seraya menghisap rokok rasa mint segar kemudian dikepulkan asapnya, memenuhi ruangan. "Semua tergantung dari apa yang diminati masyarakat, kalau mereka suka kontroversi yang lagi viral meskipun gak ada yang bisa dibanggakan, bisa apa? Sementara kalau yang berprestasi, tapi bukan konsumsi yang diminati masyarakat, ya tetap minim kemungkinan untuk dikenal banyak orang."

"Mirisnya, kalau Pemerintah sendiri abai terhadap rakyat yang jelas-jelas punya pencapaian yang bisa dibanggakan, kan semakin gak ada wadah untuk mereka untuk maju?" Ega menambahi, ucapannya semakin menguatkan obrolan serius di antara mereka. Bicara mengenai Ega, kini dirinya mengambil jurusan teknik informatika di perguruan tinggi swasta, di Jakarta. Sedetik kemudian, ekspresinya berubah ketika teringat sesuatu. "Eh, Do! Bokap lo kan, kerja di kementrian, emang gak bisa lo tembusin untuk kasih bantuan dana buat Aurel?"

Mendengar itu, Axel langsung terlonjak dan mengambil posisi duduk, menghadap keduanya yang duduk di karpet bludru abu-abu. Ia memicingkan mata dan menajamkan pendengaran, fokusnya terpaku pada Edo yang tengah termenung. "Gimana, Do? Bisa?"

Edo masih diam, pasalnya ia sangat takut berurusan dengan pria lima puluh tahun yang sangat jarang menghabiskan waktu bersama keluarga. Pria bernama Aji Herlambang itu mendedikasikan dirinya untuk mengabdi pada negara, sehingga kerap melupakan tanggungjawab sebagai ayah dari tiga orang anak. "Gue gak janji, ya?"

"Ck." Axel mengalihkan pandangan ke arah lain, lantas mengambil rokok elektriknya dan dihisapnya perlahan. Kepulan asap cukup membuatnya lebih tenang, seraya terus memikirkan cara supaya dapat membantu mewujudkan harapan gadis itu.

Tak ada lagi yang berucap, hanya terdengar suara backsound dari game yang belum dimatikan, tiba-tiba pintu kamar dibuka oleh seseorang yang menghampiri ketiganya. "Buat makan malam," ujarnya seraya menyerahkan tiga kotak nasi ayam goreng kriuk, dan langsung disambut Ega dan Edo dengan sukacita. Irisnya beralih menatap Axel yang tak merespons kehadirannya, lantas ia mengambil posisi duduk di ranjang berbalut bedcover biru tua sambil mengusap pipi lelaki itu. "Serius banget mukanya? Lagi mikirin apa?"

Axel masih tak nenanggapi, kemudian menepis tangan itu dan menjauhkan darinya. "Lun, lo ngapain ke sini?"

Luna Arabella, gadis yang usianya sepantaran dengan ketiganya itu mengulas senyum manis, membuat Edo berdecak kagum melihatnya. Ia mengabaikan penolakan Axel terhadap dirinya, kemudian beralih menatap Edo dan Ega yang lahap menyantap oleh-oleh darinya. Ia sadar, jam memang sudah larut, namun kerinduannya terhadap teman satu jurusannya itu tak bisa dibendung lagi. Kini, mata biru itu kembali menatap Axel. "Gue kangen sama lo, makanya gue rela jauh-jauh dari apart cuma buat nyamperin lo."

Sudah biasa dengan sifat Luna yang tak bisa berbasa-basi, lantas Axel memilih abai dan kembali merebahkan diri. Kepalanya bersandar pada bantal empuk, tak berniat sedikit pun untuk menyicipi makanan itu, bahkan ia menyuruh Edo untuk menghabiskan jatahnya. Hal itu membuat Luna kesal, namun peduli apa?

"Xel ..." Luna memanggil, suaranya sangat pelan. Tak direspons, lantas ia beralih untuk ikut merebahkan diri di sebelah Axel. Kontan, Ega hampir tersedak saat melihat kelakuan gadis berdarah Amerika itu dan beralih mengubah posisi menghadap layar televisi. Sementara Edo justru senyam-senyum sembari membayangkan pikiran nakal.

"Lun, mending lo pulang." Axel mengusir,, mendorong tubuh Luna agar menjauhinya, namun gadis itu bersikukuh untuk tetap berada di tempat. Lelah menanggapi, dirinya memilih untuk memejam, membiarkan mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Luna semakin merapatkan jarak, memberanikan diri untuk mendekap Axel dari samping. Kepalanya disandarkan pada bahu lelaki itu, kemudian berucap, "gue pengin jadi pacar lo."

Sontak, Edo terbatuk-batuk mendengar pengakuan frontal Luna. Ia segera menyambar minuman milik Ega untuk dihabiskannya, lalu bertukar pandang dengan temannya itu seraya menggeleng beberapa kali memberi isyarat. Suasana sudah tak aman untuk para jomblo itu berlama-lama di sana, kemudian sepakat untuk pergi meninggalkan keduanya setelah menghabiskan makanan itu.

"Gue lagi gak mau pacaran, Lun." Axel menjawab singkat, membiarkan Luna merasakan hangat tubuhnya. Ia sudah berkali-kali berkata belum siap menjalin hubungan serius dengan siapa pun, namun gadis yang selama dua tahun ini menjadi teman kuliahnya itu, tak kenal lelah untuk berusaha mendekati dan meluluhkan hatinya.

Luna mengembuskan napas pelan, menatap wajah Axel dari samping, seketika senyum terulas di bibirnya. "Kalo lo udah buka hati, terima gue, ya. Gue gak bisa lihat lo jalan sama cewek lain." Dekapan semakin erat, membiarkan menyatu pada kehangatan malam ini.

- ola, 27/07/2022

Sejauh Bumi & MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang