Vote & Komen
💫💫💫
Pintu kamar bercat putih ditutup dengan perlahan guna meminimalisir bunyi deritnya. Aurelia berjalan mengendap-endap di tengah ruangan yang gelap gulita, sambil mengarahkan senter ponsel sebagai bantuan mencari jalan. Matanya melirik jam dinding, pukul sembilan malam, sang mama pasti sudah terlelap.
Aurelia membuka pintu rumah, kemudian menguncinya dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara yang dapat didengar mamanya. Sepasang sandal pink membawanya ke luar rumah. Aurelia merutuki dirinya, saat gerbang yang dibuka menimbulkan derit yang memilukan. Ia berharap, mamanya tidur pulas dan tak mendengarkan apa pun.
Aurelia menggembok gerbang itu, dan berjalan beberapa langkah menghampiri tukang ojek yang sudah dipesannya tadi. Ia sengaja meminta driver tua itu untuk menunggu agak jauh dari rumahnya, supaya deru kenalpot tidak didengar oleh sang mama.
Kini driver melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, karena Aurelia tak hentinya memukul-mukuli pundaknya, memberi perintah agar lebih cepat membawa motor bebek itu. Berbekal maps yang dikirimkan Aurelia, driver itu tak terlalu fokus membawa motornya, sesekali matanya melirik ponsel yang ditempelken di atas spidometer.
"Pak, buruan!" Aurelia kembali memberi perintah, motor bebek yang usang itu dipaksa melaju dengan kecepatan tinggi hingga body motornya bergetar tak keruan, membuat perut Aurelia seakan sedang menggunakan alat vibrator kesehatan.
Kini keduanya sampai di tempat tujuan, Aurelia segera membayar tagihan kepada driver itu, kemudian berlari secepat tenaga memasuki gang terpencil. Kalau Edo tak memberi petunjuk, sudah pasti Aurelia tersesat.
Aurelia mencoba mendorong teralis besi yang terkunci rapat, namun usahanya gagal. Dari balik jeruji, ia dapat melihat kerumunan orang yang bersorak sorai, seperti sedang merayakan kemenangan. Aurelia buru-buru menelepon Edo, memberi tahu jika dirinya sudah di lokasi namun tak mempunyai akses masuk.
Tiba-tiba, seseorang menginterupsi, membuat Aurelia terenyak. Pria bertubuh kekar dengan tato di seluruh badannya, menatap Aurelia dengan tajam. "Siapa kamu?!"
Aurelia mengerjap, debaran jantungnya tak keruan. "Sa-saya ... mau ketemu Axel, Om."
Pria berkepala plontos itu menaikkan satu alisnya, ia tak ingin membiarkan orang asing masuk ke tempat ini, kecuali member. "Kamu siapanya Axel?!"
"Pacar, Om," jawab Aurelia dengan tenang, meski dalam hati ia ketakutan setengah mati. "Boleh saya masuk? Saya dapat kabar, kalo pacar saya babak belur dihajar sama lawannya."
Pria itu mendengkus, meski penampilannya terkesan menyeramkan, namun ia tak tahan melihat ekspresi Aurelia yang bersedih seperti ini. Dengan kasar, pria itu membuka gembok dan memberikan jalan pada Aurelia.
"Makasih, Om," ujar Aurelia sambil menunduk sopan, kemudian melangkah mengedarkan pandangan mencari di mana gerangan Axel berada. Sesekali ia tak sengaja menubruk orang-orang di sekitarnya, hingga makian pun didapatnya, namun tak diambil pusing.
Aurelia berhenti sejenak saat ponselnya bergetar. Dilihatnya nama si penelepon, sedetik kemudian panggilan itu langsung diangkat. "Halo, Do?"
"Lo di mana, Rel?" tanya Edo di seberang sana, suaranya terdengar serak.
"Gue lagi di ...." Aurelia mengedarkan pandangan, berusaha mencari tanda yang bisa dijadikan patokan. "Di depan plang tengkorak, Do!"
"Oke, gue ke sana," ujar Edo, kemudian mematikan sambungan teleponnya.
Aurelia bertingkah gelisah, menunggu Edo menjemputnya. Pandangannya berusaha menilik apa yang jadi tontonan orang-orang saat ini. Ia menaiki kursi di sebelahnya, kemudian manik matanya menangkap sosok lelaki yang mungkin seumuran dengannya, sedang diwawancarai perempuan berbaju minim. Samar-sama ia dengar nama lelaki itu disebut "Tio."
"Rel!" Edo menginterupsi, sontak Aurelia terkejut dan turun dari kursi itu. Tak membuang waktu, ia mengikuti Edo melewati lorong yang minim penerangan. Tiba-tiba langkah Edo terhenti di depan ruangan yang pintunya tak ditutup dengan rapat. Edo memberi isyarat pada Aurelia untuk masuk, sementara dirinya berjaga di luar ruangan.
Dengan gemetar, Aurelia membuka pintu kayu itu dan melangkah masuk. Ruangan dengan penerangan lampu kuning 5 watt membuat kepalanya berdenyut. Tatanan ruangan itu berantakkan dan terasa pengap.
Aurelia membulatkan matanya saat menemukan sosok yang sedari tadi dicarinya. Ia menutup mulut dengan tangannya, kemudian buru-buru menghampiri sosok yang terbaring lemah di atas ranjang. "Axel!"
💫💫💫
Published : 15 Juni 2020
Vote + Comment
Love,
Max
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejauh Bumi & Matahari
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] Genre: Teenfiction - Young Adult | 17+ "Lo sengaja usik gue buat dapetin perhatian gue, kan?" Axel menaikkan turunkan aslinya. "Gak usah sok polos. Gue tau, lo naksir gue." Aurelia mencondongkan tubuhnya, sontak Axel terkesiap...