vote & comment
•"Lun, gue mau minta tolong."
Pesan yang sedari tadi dipertimbangkan, akhirnya dikirim juga oleh Axel. Ia menggenggam erat ponsel merek iPhone itu, berharap Luna memberi jawaban sesuai atas apa yang diminta. Matanya melirik ke arah jam dinding, pukul sepuluh malam. Biasanya, gadis itu belum terlelap. Kenapa ia bisa tahu? Karena selama keduanya berteman, Luna kerap memintanya untuk menemani via telepon atau yang disebut sleep call. Terkadang, Axel malas menurutinya, karena baginya itu sangat membuang waktu dan membuat daya baterainya menjadi boros.
Saat tengah memikirkan Luna, seketika ia teringat kejadian siang tadi. Ia masih tak enak hati pada Aurelia, karena keinginannya untuk ditemani kuliah, gadis itu justru kena semprot oleh dosen. Meski Aurelia berkali-kali berucap, 'gue gak papa,' namun tetap saja ia merasa bersalah. Apalagi setelah mengantar pulang, untuk pertama kalinya setelah dua tahun berpisah, ia kembali menyambangi rumah yang tak banyak perubahan itu. Memori saat menyelinap dan duduk berdua di atap, kembali terbesit di ingatan. Kontan, senyum simpul terukir di bibirnya ketika menyadari jika rasa yang dulu masih melekat di benaknya.
Kling!
Jantung berdebar saat manik abu Axel melihat notifikasi di layar. Dengan cepat ia arahkan ponsel itu ke depan wajahnya, fitur face ID otomatis membuka kuncinya, kemudian membaca pesan itu dengan saksama. Tangannya bergerak cepat mengirim pesan balasan sebelum Luna kembali offline. Kini, keduanya saling berbalas pesan, sesekali kening Axel berkerut memikirkan kalimat yang pas, agar gadis itu berkenan membantunya.
"Yash!" Axel berseru, ekspresi semringah di wajahnya adalah pertanda bahwa apa yang diharapkan berhasil terwujud. Oksigen bercampur udara dingin dari AC dihirup dalam-dalam, melepas kepenatan untuk sesat. Axel menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, kemudian
menatap langit-langit kamar, terbayang akan kepintaran sang mantan saat menjawab pertanyaan dari Bu Ziva, membuatnya bertekad bulat ingin menguliahkan Aurelia.Helaan napas berat diembuskan, rasa kantuk belum melanda, namun Axel bosan dengan kegiatan malam ini. Tak ada tugas, tak ada minat untuk bermain game. Malas juga mengundang dua cecunguk itu, karena ia sedang tak ingin diganggu. Lantas, terbesit niat untuk pergi ke suatu tempat. Tak ingin membuang waktu, ia langsung bangkit dari duduknya, mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja belajar, kemudian bergegas ke garasi mobil yang tampak tiga mobil berjejer di sana.
Sesaat langkah Axel terhenti ketika melihat sedan putih terparkir, keningnya mengerut. "Mama kapan pulang?" Ia bergumam dalam hati, setaunya ... mamanya sedang bertugas keluar kota. Namun, ia juga tak begitu peduli pada kesibukan wanita itu. Langkahnya kembali menapaki keramik hitam, membuka pintu mobil Civic Turbo yang berwarna hitam pekat, kemudian melajukannya dengan kecepatan rata-rata.
Entah kenapa, rindu terasa menyiksa, padahal hari ini pun sudah bertemu. Namun, perasaan ini berhasil membuat Axel kalang kabut. Ingin rasanya ia kembali memiliki gadis itu untuk seutuhnya. Tapi, semua butuh proses, mengingat kejadian saat di bangku SMA, mungkin masih memberikan trauma bagi Aurelia.
Sekitar dua puluh menit, kinu mobil itu telah sampai, di halaman yang tampak sepi itu hanya ada dua motor yang terparkir. Axel bergegas memasuki minimarket, tiba-tiba ia tercekat dan langsung berlari dengan cepat ketika manik abunya tak sengaja menangkap pemandangan yang nyaris membuat jantungnya copot. Dalam hitungan detik, ia berhasil menahan kepala gadis yang hampir membentur ujung meja yang terbuat dari besi.
Axel mendesah, mengatur posisi gadis yang sedang terlelap itu secara perlahan, menyandarkan gadis itu pada rak susun yang diisi berbagai macam merek rokok. "Lo kalo capek, kenapa gak istirahat aja sih, Rel?" Axel bergumam pelan, irisnya terus mengamati wajah Aurelia yang tampak kelelahan. Ia bersyukur datang di waktu yang tepat, kalau tidak ... bisa dipastikan kepala Aurelia akan terluka karena ujung meja yang lancip itu.
Cowok berpakaian serba hitam itu memutuskan duduk di kursi plastik, menjaga sekaligus menemani Aurelia. Ia tak tega membiarkan gadis itu berjaga seorang diri di tengah malam seperti ini.
Gerak-gerik Aurelia menunjukkan jika ia tidak dapat tidur dengan nyenyak, sesekali gadis itu mengusap lengannya karena dinginnya malam. Peka dengan itu, Axel bergegas menuju mobil untuk mengambil jaket tebalnya. Jaket hitam itu langsung disampirkan, menutupi bagian depan tubuh Aurelia, setidaknya dengan ini bisa membuat gadis itu lebih nyaman dalam tidurnya.
Kini, Axel kembali duduk, fokusnya beralih saat seorang pegawai minimarket menghampiri. Ia mengarahkan jari telunjuk di depan bibir, mengisyaratkan agar lelaki itu tidak berucap dengan keras, supaya tidak mengganggu Aurelia.
"Lo siapa?" tanya Verdi. Lelaki berkacamata kotak itu mengernyit, takut jika orang asing di hadapannya itu adalah orang jahat yang berniat melukai rekan sejawatnya.
"Gue Axel, temen Aurel." Axel menjawab seraya menunjuk Aurelia, dengan bisik-bisik. "Gue mau jaga dia."
Verdi yang semula ketakutan, kini menjadi lebih tenang meskipun ia harus tetap was-was. Kepalanya mengangguk, kemudian kembali ke gudang. Tugasnya sebagai penjaga dan pengawas stok, membuatnya untuk selalu stay di sana.
Kini, Axel kembali membuka Whatsapp, pesan terakhir yang dikirimkan kepada Luna hanya dibaca saja. Lantas ia menghela napas berat, keputusan ini mungkin akan berdampak pada hubungannya dengan Luna, tapi demi Aurelia ... ia tak peduli tentang apapun itu.
Menit demi menit dilalui, datanglah seorang pembeli bertubuh gemuk mengambil dua minuman kaleng dari kulkas. Perutnya yang buncit membuat langkahnya melambat, hingga sesampainya di depan kasir, perhatian lelaki itu terpusat pada Aurelia yang tertidur pulas.
"Totalnya lima belas ribu," ujar Axel seraya mengoperasikan komputer dan memasukkan minuman kaleng ke dalam plastik.
Pembeli itu mengurungkan niat untuk bertanya, kemudian mengeluarkan dua lembar uang yang jumlahnya pas, dan bergegas meninggalkan minimarket.
Napas berat kembali diembuskan dari mulut Axel, ternyata hidup Aurelia tidaklah mudah. Gadis itu mengejar gaji di bawah UMR, sampai harus merelakan jam istirahat dan masa depannya sendiri. Lantas, Axel mengulurkan tangan untuk mengusap pipi sang mantan sambil berucap, "gue salut sama lo, Rel. Lo, cewek terkuat yang pernah gue temui."
•
- hi, 10/09/2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejauh Bumi & Matahari
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] Genre: Teenfiction - Young Adult | 17+ "Lo sengaja usik gue buat dapetin perhatian gue, kan?" Axel menaikkan turunkan aslinya. "Gak usah sok polos. Gue tau, lo naksir gue." Aurelia mencondongkan tubuhnya, sontak Axel terkesiap...