#36🌴

22 1 0
                                    

1 tahun kemudian...

Qadri sedang duduk sendirian di kursi halaman belakang rumahnya sambil menikmati suasana sore yang cerah. Tak terasa sudah 1 tahun berlalu semenjak kejadian hari itu. Cukup lama bagi dirinya untuk bisa bangkit, namun karena tekad yang kuat akhirnya semua itu bisa ia lewati.

Drrt..
Drrt..

Tertera nama Sella di layar hpnya, segera ia menggeser ikon hijau.

Assalamualaikum bang.

Waalaikumsalam dek, gimana? Kamu sudah nyampe di Berlin?

Iya bang, Sella udah nyampe.

Baguslah..

Bang..

Iya dek?

Sella minta maaf..

Kenapa?

Karena Sella gak bisa move on, jadinya abang tinggal sendirian di Indonesia.

Gak papa dek, abang ngerti gimana perasaan kamu. Kamu gak perlu khawatir dengan abang, asalkan kamu bisa menjaga diri kamu disana itu udah jadi penyemangat buat abang. Abang harap dengan kamu tinggal sementara disana itu bakal nyembuhin luka kamu.

Makasih bang... makasih karena udah izinin Sella pergi kesini. Sella juga berharap sama seperti yang abang bilang barusan. Sekali lagi maafin Sella gak bisa nemenin abang disana.

Gak papa dek.. abang ngerti.. jalani aja tiap langkah yang kamu pilih.

Makasih bang... Ya udah, Sella pergi dulu, Assalamualaikum.

Waalaikumsalam.

Setelah panggilan terputus, Qadri menghembuskan nafas pelan,

Semoga kamu bisa pulih dari luka kamu....  batin Qadri.

****

Sella POV

Pikiran yang dipenuhi oleh harapan mengiringi tiap langkahku menuju rumah ibu dari temanku, Baron. Jujur sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan daerah tempat tinggalku, tapi mau bagaimana lagi? Tempat itu sudah menjadi pengingat tentang kenangan buruk yang bahkan sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan semuanya. Rasa sedih, kecewa, marah masih menjadi mimpi burukku setiap hari.

Setelah cukup lama berada didalam taksi akhirnya aku sampai dirumahnya. Sebuah rumah kayu kecil berwarna abu² dengan pepohonan disekitarnya menjadikan rumah ini terasa sangat sejuk.

Tok..
Tok..
Tok..

Tak lama pintu terbuka menampilkan seorang wanita berumur dengan rambut berwarna coklat. Wanita itu tersenyum senang melihat kedatanganku.

"Sella?"

"Halo bu." aku lalu mencium tangan wanita itu yang bernama Elen.

"Silahkan masuk." ucapnya dengan ramah. Kami berdua lalu memasuki rumah itu dan duduk di sofa ruang tamu.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya yang aku jawab dengan lembut.

"Saya baik bu."

"Oh ya aku lupa membuat tehmu, kamu pasti lapar setelah perjalanan jauh kan? "

"Tidak, tidak perlu, saya tidak ingin merepotkan." dia hanya tersenyum lalu berkata,

"Sella... kamu itu seperti putriku. Lagian kamu juga sudah lama tidak kesini, jadi tentu aku harus menyambut kedatanganmu ini." awalnya aku menolak, namun karena melihat antusiasme Elen, akhirnya aku menerimanya.

Selagi Elen didapur, aku melihat ruang tamu itu. Aku jadi teringat saat kami dulu masih kuliah dan sering berkumpul dirumah ini. Entah itu untuk mengerjakan tugas kuliah atau sekedar mengobrol dan bersantai. Aku lalu melihat bingkai² foto disana, terdapat foto Baron yang merangkul ibunya dan foto dirinya sendiri sedang tersenyum memegang sebuah gitar. Saat aku melihat foto disebelahnya, aku langsung terdiam. Sebuah foto dimana kami semua sedang berkumpul dan menikmati libur kuliah. Aku memejamkan mataku sejenak mengingat betapa hangatnya momen itu, dimana kami semua saling bercerita dan bercanda tawa bersama.

"Sella?" aku langsung membuka mataku dan berbalik menatap Elen.

"Maaf.. saya tidak bermaksud lancang melihat foto² ini." ucapku agak gugup, namun Elen justru tersenyum.

"Ibu tidak pernah melarangmu melihatnya, ibu hanya tidak ingin kamu mengingat semua hal buruk itu. Bukankah kamu kesini untuk melupakan semuanya?"

"Benar, tapi tetap saja semuanya selalu terlintas dalam pikiran saya. Walaupun saya tidak melihat foto² itu, tapi saya akan tetap ingat bagaimana wajah teman² saya."

"Kamu tau Sella? Terkadang kita harus menghilangkan pikiran yang selalu berada dalam otak kita. Terutama untuk kenangan yang buruk, kalau ibu boleh jujur ibu juga sebenarnya sangat sulit untuk merelakan Baron. Bagaimanapun dia anak ibu satu²nya, namun hidup terus berjalan, waktu terus berganti, kita tidak mungkin akan terus berada di satu titik dalam hidup. Saran ibu, cobalah untuk merelakan semuanya.. biarkan semua kesedihan itu berlarut dengan bergantinya waktu, mungkin akan sulit, tapi setidaknya kamu bisa mengobati sedikit demi sedikit rasa itu." ucapan itu membuatku terdiam, dia benar, mungkin memang sudah seharusnya aku bangkit. Aku tau hidupku tak akan seperti dulu, namun setidaknya sekarang hidupku akan jauh lebih baik, dengan cara merelakan semuanya dan mencari hal² baru yang mungkin akan membuatku melupakan semuanya.

Kisah Sempurna BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang