Sudah tiga hari Phoebe menemani Ivan menunggu Beatrice siuman pasca keracunan es krim akibat ulah Alvarez.
Phoebe mengintip penuh tatapan sendu dari celah kaca kecil pada pintu ICU. Beatrice terbaring lemah dengan selang oksigen terpasang di hidungnya, masih dalam penanganan dokter. Hingga saat ini belum sadarkan diri setelah berhasil melewati operasi selama enam jam tanpa henti untuk mengeluarkan cairan racun yang ternyata mematikan dan juga berbahaya pada organ tubuhnya. Racun itu berhasil merusak hati dan ginjal Beatrice.
Seketika mengingat itu Phoebe memejamkan mata lelah penuh perasaan bersalah pada keponakannya dan juga pada Ivan.
Beatrice harus hidup. Ya harus hidup.
Membuka mata perlahan, rasa bersalah kian bergejolak saat matanya menoleh dan mendapati raut wajah Ivan penuh luka akibat tikaman pena menembus mukanya.
Maafkan aku Ivan. batin Phoebe semakin diselimuti rasa bersalah.
Sungguh Phoebe merasa hidupnya sudah tidak bisa dikategorikan baik-baik saja. Ketika Ivan menghubungi dan memberitahu bahwa Alvarez telah tahu semuanya mengenai identitas marga belakang yang selama ini berusaha ia simpan sampai mati pun sudah terbongkar.
Athanasia Phoebe Saliba.
Itulah nama asli belakangnya yang selama ini Phoebe sembunyikan.
Dengan begitu Phoebe merasa tidak bisa kabur dengan mudah, serta upayanya untuk menjauh berakhir sia-sia. Seperti mimpi buruknya kala itu secara tidak langsung menegaskan Alvarez akan selalu menemukannya. Mimpi buruk itu pertanda sejauh Phoebe bersembunyi di ujung dunia sekalipun, Alvarez akan mencari dan menemukan.
"Istirahatlah." Phoebe duduk di sebelah Ivan, menengok dan mengulurkan salah satu tangannya mengusap luka Ivan dengan tatapan pilu. "Kata dokter, mereka mengupayakan agar Beatrice sudah siuman hari ini. Semoga saja ada keajaiban terjadi. Jika tidak—"
Phoebe sulit sekali meneruskan kata-katanya. Mulutnya sudah terbuka namun tidak ada ucapan yang keluar. Yang ada hanya air mata yang tiba-tiba luruh dengan sendirinya.
Jika tidak akulah yang seharusnya mati menggantikan Beatrice. Anak itu tidak bersalah. Akulah yang salah.
Dalam hati Phoebe berkata demikian. Ivan menoleh, melepas usapan tangan Phoebe dan menggenggamnya. Menatap sedih dan juga pilu. Lalu menepuk bahu Phoebe pelan sebagai isyarat menenangkan wanita itu agar tidak menyalahkan dirinya sendiri. Kemudian memeluk Phoebe karena tangisan wanita itu semakin deras tidak terbendung.
"Sudahlah, Phoebe. Ini semua bukan kesalahanmu. Kita harus mempercayakan nasib Beatrice pada dokter yang telah berusaha menolongnya. Sisanya biarlah Tuhan yang memiliki adil dari itu semua." ungkap Ivan menguatkan.
Tetap saja Phoebe merasa bersalah dan seluruh dadanya sesak seperti sebongkah batu berton-ton mengganjal di dalam organ tubuhya itu.
Ivan mengusap lembut rambut Phoebe lalu melepaskan diri untuk melerai pelukan. Ujung jemarinya pun menuntunnya menghapus air mata di bawah kelopak wanita yang dia sukai. "Beatrice akan baik-baik saja. Semoga saja." katanya menghibur diri, menyakinkan walau tak yakin.
Kondisi Beatrice saat dibawa ke rumah sakit oleh kepala sekolah sangat parah. Namun sebagai ayah, Ivan mencoba berpikir tenang dan mendoakan yang baik-baik.
Beatrice pasti selamat.
"Aku tidak percaya Tuhan." ucap Phoebe sambil menghapus sisa air mata dengan punggung tangan.
Datang ke rumah sakit sepertinya tidak memberikan efek sama sekali bagi Ivan. Phoebe menjadi wanita tak berguna. Yang ada ia malah menyusahkan. Bukan Phoebe yang seharusnya menenangkan dan menguatkan Ivan, melainkan sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIDDEN PASSION
RomanceCERITA INI MENGANDUNG UNSUR ADEGAN DEWASA, KEKERASAAN DAN KATA-KATA KASAR. BIJAKLAH DALAM MEMBACA! DARK ROMANCE 21+ | Beberapa orang memiliki rahasia demi menutupi kisah masa lalu. Phoebe seorang pengacara muda cantik jelita menutupi identitas aslin...