Chapter 31 : Invitation

236 12 1
                                    

"Alvarez."

Phoebe tak mempercayai penampakan yang muncul dihadapannya.

Ternyata pria yang sempat ia tunggu-tunggu dan nyatanya malah bersembunyi dalam kurun waktu lima tahun tanpa seliweran kabar berita manapun, kini berdiri gagah menampakkan diri secara langsung. Dari segi penampilan tidak banyak adanya perubahan.

Fisiknya masih sama. Dia terlihat persis ketika lima tahun Phoebe meninggalkannya hanya demi sebuah pencapaian kesuksesan. Alvarez Williams semakin bertambah umur kian begitu menonjolkan perawakannya. Rahang wajahnya kian terukir tegas dan jambang-jambang halusnya terawat lebat menambah kesan memikat para wanita. Seperti biasa mukanya bertampang dingin.

Tanpa persiapan sama sekali, malah takdir mempertemukan kembali seperti perjumpaan pertama kali. Seperti tidak ada tempat lain, lokasinya tidak berubah sama-sama di dalam lift. Perbedaan kali ini hanyalah di lokasi kantor terbaru Phoebe di Copenhagen.

Pria itu datang memakai setelan kantor hitam-hitam lengkap berdasi menekan tombol panah naik yang tadinya pintu lift sudah sempat hampir tertutup. Begitu pintu lift terbuka perlahan sontak mata mereka bertatapan satu sama lain dan dunia seakan berhenti.

Hanya gumaman serak tidak sengaja terlontar Phoebe memanggil nama Alvarez yang terdengar.

Tatapan mereka berlangsung sepuluh detik ketika suara orang lain menganggu pertemuan dua insan yang melampiaskan kerinduan melalui tatapan udara segar di pagi hari.

"Papa... aku mau ke hotel."

Dunia nyata pun kembali masuk ke dalam relung pikiran keduanya.

Dasar bocah penganggu. kata Phoebe berani dalam hati.

"Mau masuk?" Rengekan bocah menggemaskan mengembalikan kecamuk yang ada dalam diri Phoebe sehingga dia bergeser seakan memberikan akses Alvarez dan bocah yang digendongnya masuk ke dalam lift.

Alvarez tidak menjawab namun melangkah masuk.

Phoebe memejamkan mata perih. Kelopak matanya tiba-tiba memanas karena merasa dejavu akan momen krusial pertama dengan Alvarez benar-benar menyerupai.

Di dalam lift. Bedanya kini bersama seorang bocah kecil. Seolah itu kehendak yang punya takdir supaya bisa mereka dipertemukan. Namun sepertinya bukan kenangan itu yang membuat Phoebe hampir meneteskan air mata di pagi hari. Melainkan bocah yang bersama dengan Alvarez memanggil dengan sebutan Papa membuat hatinya sedikit terluka dan meringis kesakitan tanpa luka fisik.

"Kita berjumpa lagi, Alvarez." Untuk mengucapkan empat kata itu teramat sulit dikeluarkan ketika harga diri seorang wanita dipertaruhkan menyapa duluan seorang pria yang pernah dikenal di masa lalu, bahkan pernah tidur di ranjang yang sama dan berciuman pula sampai gerayangan tangan pun pernah dirasakan.

"Seperti dalam suratmu." Alvarez sekilas menengok nampak acuh tak acuh dan hendak menekan tombol 15 yang sudah dipencet lebih dulu oleh Phoebe. Seakan mereka akan naik di lantai yang sama.

"Papa aku mau di hotel bersama—"

"Di hotel tidak ada yang menjagamu." potong Alvarez lembut dengan suara yang penuh berwibawa seperti sudah biasa menenangkan anak kecil. "Sekarang temani Papa bekerja dulu. Oke?"

"Beli mainan?"

"Apapun." Kemudian bocah itu bersorak gembira lalu diam dengan sendirinya menempelkan wajahnya di ceruk leher Alvarez.

Phoebe sudah seperti kambing congek tidak tahu apapun mengenai pria itu seperti memandangi interaksi pria asing mendengar percakapan ayah dan anak.

"Untuk apa kau ke Copenhagen?" tanya Phoebe langsung pada intinya. Setelah lima tahun hidup aman tanpa ada teror keluarga Alvarez, hari ini terasa ada yang mengusik mulai sedikit ada rasa janggal dalam gejolak pikiran dan hati Phoebe.

HIDDEN PASSION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang