Chapter 27 : Anxious

302 14 0
                                    

Saint Petersburg, Rusia

Angin semilir siang hari terasa terik dan panas, menjilati kulit cokelat keemasan pada kedua pria jantan yang baru saja turun dari tangga jet pribadi. Durasi penerbangan memakan waktu dari New York ke Saint Petersburg lebih dari dua belas jam sangatlah melelahkan. Terlebih perbedaan waktu jam yang cukup panjang membuat keduanya hampir mengalami jetlag.

Apalagi pada Alvarez yang kewarasannya semakin menipis.

"Kau bilang mau ke Moskow?" gerutu Alvaro sembari memakai kacamata hitamnya. Berjalan gontai dan cepat keluar dari lapangan landas sesegera mungkin demi bisa menyeret istrinya yang pembangkang.

Sejak berkenalan dengan Amanda, dia tetap menjadi wanita sesuka hati tak merubah kepribadiannya. Itulah yang menjadi daya pikat selain kecantikan wajah dan bentuk tubuhnya melekuk seksi dan indah. Tapi sungguh Alvaro benar-benar jatuh cinta pada Amanda. Sebelum bekerja, kerap kali Alvaro berpamitan dan menasehati kalau keluar rumah minta izinlah terlebih dahulu. Otak wanita itu selalu bertindak lebih cepat tidak pernah membayangkan situasi apa yang sedang dilaluinya. Atau Amanda memang sengaja mencari masalah jika mereka sudah berantem membahas wanita lain.

Padahal jika sudah begini, Alvaro menjadi gelabakan sendiri mengkhawatirkan nasib Amanda dan calon buah hatinya.

Kenapa pula Amanda mau direcoki oleh gadis pembawa petaka bagi keluarganya? Oh sungguh keterlaluan! Haruskah ia menghukum wanita pembangkang itu? Awas saja jika sudah di depan mata langsung kuberikan hantaman kuat sampai kau tak bisa keluar rumah. Bahkan kedua kakimu terasa kebas tidak sanggup turun dari ranjang.

Itulah yang dipikirkan Alvaro setelah pertama kali menginjakkan kakinya di aspal negara Rusia. Banyak negara sudah Alvaro datangi, namun kota tersebut tak pernah terlintas dijadikan sebagai kota wisata ataupun liburan. Rasa-rasanya di luar kepala, negara itu sudah dicap jelek Alvaro karena terus ada peperangan dan kekacauan yang tak kunjung selesai sampai saat ini. Sejujurnya pria itu membenci negara berkonflik yang mencekam dan berkepanjangan, mengingatkannya terlempar jauh ke masa kelamnya terhadap perang di Afghanistan.

Ini bukan hal yang penting bagi seseorang namun juga tidak biasa. Ini tentang luka yang tidak tahu akan sembuh sampai kapan. Setiap penderita luka hanya bisa dirasakan atau dipendam hingga menjadi adonan yang mengental. Dilupakan pun nyatanya tidak bisa. Tersadar masih ada goresan tinta luka hitam akan belitan yang tersisa. Luka itu seakan menempel menjadi bagian tubuh kita yang sudah ditakdirkan tidak bisa dilupakan. Seperti nadi yang melekat tak terpisahkan oleh saraf. Seperti darah yang menempel pada daging. Itu semua menjadi sebuah kenangan sampai luka itu tak terasa lagi sakitnya karena penderita luka itu sudah tiada. Luka tersebut akan mati rasa tertanam bersama gundukan tanah atau sudah menjadi abu, terhanyut oleh arus air laut membawa luka itu pergi.

"Jangan banyak mendumel." Alvarez berkomentar menanggapi ocehan berisik saudara kembarnya yang sangat rewel.

"Jika Amanda tak ikut-ikutan datang kemari, tak sudi aku mengikutimu. Jadi pilihanmu benar adalah si gadis Rusia?"

Alvarez kali ini benar-benar tak menanggapi.

"Sudahlah aku pun tahu tujuanmu!" Alvaro memberenggut, mengibaskan tangan di udara. Tak ayal semua ucapannya memang tepat sasaran. "Kau sedang berusaha mencari sekutu bukan? Andai jika terjadi apa-apa aku bisa menolongmu. Walau pernah mengibarkan bendera perang, sialnya darah memang lebih kental dari pada air." lanjutnya terus melangkah gagah.

"Oh ya Tuhan, si kembar Williams kharismanya benar-benar luar biasa." pekik penumpang tiba-tiba, sembari mendorong koper kecilnya, berbisik-bisik tapi terdengar jelas oleh mereka yang dibicarakan seperti sedang melihat aktor yang dia sukai.

HIDDEN PASSION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang