HB - 44

1.4K 33 0
                                    

Tombol vote nya jangan lupa dipencet, ya!

Selamat membaca❤️

***

Citra berjalan dengan tergesa menuju kelasnya. Tangan kanannya membawa dua lembar surat izin untuk Aruna.

Ketika sudah sampai dikelas, Citra langsung saja menghampiri Aruna. "Udah diberesin semuanya, Ra?"

Sahira menoleh seraya menganggukkan kepalanya. "Udah,"

"Ayo anterin Aruna ke gerbang, tadi Mami Aruna telpon gue, katanya abangnya Aruna udah di depan." ujar Citra yang diangguki oleh Sahira.

"Ayo, Ru. Abang lo udah nunggu di depan katanya." ajak Sahira. Aruna mengangkat kepalanya dari atas meja, lalu beranjak dari duduknya dengan tangan yang masih mencengkeram perut. Wajah Aruna sudah terlihat sangat lemas, karena menahan sakit.

Cengkraman tangannya Aruna lepaskan dulu dari perutnya untuk menggendong tas sekolahnya, namun Citra malah menahannya.

"Biar gue aja yang bawain tas lo." ujar Citra.

Aruna tersenyum tipis, "Makasih, Ci."

Citra hanya merespon dengan anggukan saja. Setelah itu, ia menggendong tas sekolah Aruna. Sementara Sahira merangkul pundak Aruna seraya menggiringnya untuk membantu Aruna berjalan.

Sebelum keluar dari kelas, Citra menyimpan satu surat izin terlebih dahulu diatas meja guru. Lalu menghampiri ketua kelas. "Sak, Aruna izin balik duluan ya. Dia sakit, penyakitnya kambuh. Surat izinnya udah gue simpen diatas meja guru."

Sakti mengangguk, "Oke. Cepet sembuh untuk Aruna."

***

"Adek sayang, kenapa perutnya nak?" tanya Mami dengan panik ketika melihat putri bungsunya masuk kedalam rumah dengan digiring oleh putra keduanya.

Aruna di dudukkan diatas sofa yang ada diruang keluarga. Mami dan Arsen duduk dikedua sisi Aruna.

Aruna mendongak menatap sang Mami. Ia tersenyum perih, "Perut Adek sakit, Mami. Nggak kuat," rintihnya sembari mencengkram erat perutnya.

Mami menatap Aruna dengan sendu. Hatinya sakit seperti teriris pisau ketika melihat putri bungsunya kesakitan seperti ini. "Penyakit Adek kayaknya kambuh, selama seminggu kemarin Adek nggak makan nasi, kan?"

Aruna hanya merespon dengan menganggukkan kepalanya saja. Arsen menatap adiknya kesal. "Susah dibilangin. Udah tau punya penyakit asam lambung sama inflamasi usus, tapi tetep aja nggak bisa jaga pola makan."

Aruna tidak merespon. Jujur saja, ia takut jika kakaknya sudah mulai ikut turun tangan seperti ini.

"Abang, Adeknya jangan dimarahin gitu. Kasian dia, lagi sakit." peringat Mami.

Arsen hanya merespon dengan memutar bola matanya kesal.

"Kita ke rumah sakit ya, sayang?"

Aruna mengangguk, "Iya, Mi."

Mami tersenyum tipis. Masih untung putrinya ini tidak susah jika diajak untuk berobat ke rumah sakit. "Adek ganti bajunya dulu, makan dulu, abis gitu kita ke rumah sakit."

Aruna kembali menganggukkan kepalanya. Ia beranjak dari sofa lalu berjalan kearah kamarnya tanpa sepatah katapun.

Mami menatap punggung putri bungsunya dengan sendu. Ia sangat khawatir dengan kondisi putrinya itu. Masih remaja, namun sudah diberi penyakit inflamasi usus seperti ini.

Disaat remaja yang lain bisa dengan bebas memakan makanan pedas, bebas memakan makanan apa saja, bebas meminum es sepuasnya, putri bungsunya ini malah tidak bisa makan pedas sama sekali, tidak bisa memakan makanan sembarangan, dan tidak bisa meminum es sepuasnya.

***

Aruna tengah berbaring disebuah brankar yang ada diruang UGD di rumah sakit Medika Utama. Ia sedang menunggu dokter untuk memeriksanya dengan ditemani oleh kakak keduanya dan Mami yang kini tengah berdiri di samping brankar nya.

Tak lama kemudian, seorang dokter paruh baya pun menghampiri. "Selamat siang," sapa dokter tersebut.

"Siang juga, dokter." sahut Aruna dengan senyum tipisnya.

"Apa yang sakit, Dek?"

Aruna mengalihkan pandangannya kearah sang Mami. Ia berusaha meminta bantuan kepada Mami nya untuk menjawab pertanyaan dari dokter tersebut.

Anak muda atau anak remaja seumuran Aruna itu sangat lucu, ya. Ketika ditanya oleh dokter perihal keluhan sakitnya, pasti mereka akan langsung menatap orang tuanya agar orang tuanya menjawab pertanyaan tersebut. Padahal yang sakit itu dirinya sendiri, bukan orang tuanya. Hayo.. siapa yang seperti ini juga?😅

Mami menghela napasnya ketika putri bungsunya menatap kearahnya. "Perutnya katanya sakit banget, Dok."

Dokter tersebut menganggukkan kepalanya, "Dari kapan sakitnya?" tanya dokter tersebut sembari memeriksa detak jantung Aruna menggunakan stetoskop.

Mami Aruna menatap kearah putrinya. Aruna yang mengerti dari tatapan sang Mami pun berujar, "Baru tadi."

Dokter tersebut mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia meraba perut bagian kanan dan kirinya Aruna sembari sedikit ditekan. "Di sebelah mana sakitnya? Sini?"

"Aw! Aduh sakit dok," rintih Aruna ketika perutnya ditekan seperti itu.

Dokter tersebut tersenyum. "Kamu belum makan nasi sama sekali, ya?"

Aruna hanya menjawab dengan anggukan kepala saja.

"Dari kapan nggak makan nasi?"

Aruna terlihat berfikir. "Dari satu minggu yang lalu." jawabnya dengan takut-takut. Takut karena tatapan tajam dari kakaknya.

Dokter tersebut menggelengkan kepalanya, "Kalo nggak makan nasi selama seminggu, kamu makan apa jadinya?"

"Makan mie."

Dokter tersebut menepuk keningnya, "Pantesan, perut kamu kembung banget." ujar dokter tersebut. Ia menoleh kearah Mami Aruna. "Si Adeknya punya riwayat penyakit inflamasi usus, Bu?" lanjutnya.

Mami mengangguk. "Punya, Dok, baru bulan kemarin-kemarin kena penyakit itu."

"Ini si Adek perutnya kembung banget, Bu. Karena perutnya jarang di isi nasi. Ditambah lagi yang masuk ke perutnya cuman mie, makanan pedes, dan es. Jadi ususnya melintir sampe membentuk gas." jelas dokternya.

Mami Aruna mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti. "Bandel, Dok, anaknya. Dikasih tau juga ngeyel terus,"

"Anak zaman sekarang memang seperti itu, Bu." ujar dokter sembari terkekeh.

"Jadi ini anak saya gimana, Dok? Bisa langsung pulang aja atau harus dirawat inap di rumah sakit?"

"Harus dirawat inap, Bu. Biar kesehatannya cepat membaik."

Mami menganggukkan kepalanya, "Yasudah, kalau harus dirawat inap, dirawat inap saja."

"Baik. Saya permisi mau ambil alat infusnya dulu."

Mami Aruna hanya menjawab dengan anggukan kepalanya saja. Sementara Arsen, ketika melihat dokter sudah pergi dari hadapan mereka, ia langsung menyeletuk, "Denger apa kata dokter."

Aruna memutar bola matanya, "Ck, iya." kesalnya.

Siapa yang tidak kesal jika sedang sakit begini kakaknya malah memarahinya terus. Aruna tahu bahwa ini adalah kesalahannya sendiri, namun ia sedang sakit sekarang, jadi tidak usah memarahinya juga.

***

TBC

Handsome Boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang