Chapter 5

20.5K 1.6K 216
                                    

Mention kalau ada typo.
Happy reading.

****

"Tidak apa. Tidak perlu terburu-buru, Tuhan tahu kapan waktu yang tepat. Anak adalah anugerah terindah, kadang kala mereka bahkan hadir di saat kita tak lagi mengharapkannya agar menjadi hadiah luar biasa."

"Atau mungkin kalian harus mengurangi kesibukan masing-masing, mengambil cuti panjang, lalu pergi berlibur. Pikiran yang tenang dan stamina yang baik sangat dibutuhkan dalam hal itu."

"Tapi, sekali lagi kukatakan, tidak perlu tebruru-buru jika belum ada kesiapan. Pernikahan kalian pun masih sangat muda, tiga bulan menikah dan belum memiliki anak adalah hal yang biasa."

Alfred dan Seleste terdiam, otak mereka memikirkan hal yang sama, mengingat semua ucapan-ucapan para jemaat saat tadi mereka berbincang hangat di depan gereja.

Pernikahan Alfred dan Seleste telah berjalan selama tiga bulan. Tiga bulan lalu Alfred resmi menikahi wanita yang telah ia usahakan selama hampir lima tahun itu.

Malam di mana Alfred mencoba untuk melamar Seleste, mencoba keberuntungannya untuk yang kesekian kali, percobaan Alfred menghasilkan buah keberhasilan dan Seleste pun menerimanya.

Tidak butuh waktu lama, satu bulan kemudian pernikahan mereka berlangsung sakral dan mewah. Mengejutkan banyak pihak sebab Alfred yang diketahui sedang tidak berada dalam hubungan serius, dan Seleste yang baru saja ditinggal pergi oleh putra Perdana Menteri, mereka menikah setelah beberapa kali tertangkap basah makan di restaurant.

Alfred pun mengakhiri masa lajangnya di usia 35 tahun, dan Seleste di usia 25 tahun. Resmi menjadi suami dan istri, tinggal di bawah atap yang sama, makan di satu meja makan yang sama, namun rupanya itu tak mengubah apa pun. Sama sekali tidak.

Yang publik dan keluarga mereka tahu adalah, Alfred dan Seleste bahagia; mereka bahagia atas pernikan mereka, Alfred bahagia sebab berhasil menikahi wanita dambaan hatinya, juga Seleste bahagia sebab memiliki suami seluar biasa Alfred.

Pemikiran-pemikiran itu ternyata berbanding terbalik pada fakta yang terjadi, berbeda jauh dari sistem kehidupan Alfred dan Seleste yang menjalaninya sehari-hari-selama tiga bulan ini.

"Turunkan aku di toko dan kau bisa pulang. Aku ingin memeriksa data-data penjualan sekaligus memeriksa beberapa rekaman cctv. Nanti kuhubungi sopir di rumah untuk menjemputku," kata Seleste memecah kehingan.

"Telepon saja aku. Nanti kujemput," balas Alfred yang mengemudi.

Mereka baru pulang ibadah raya minggu siang. Saat pergi tadi mereka tak sekaku ini, tetapi semua masukan jemaat agar mereka segera memiliki anak, membuat suami istri itu mendadak canggung dan tak nyaman satu sama lain.

Mereka tak suka pembahasan tentang anak. Apa yang harus mereka katakan? Memberitahu semua orang bila pernikahan ini hanyalah seperti permainan, yang di mana sampai malam tadi mereka bahkan masih tidur terpisah di kamar masing-masing? Tentu itu ide buruk, tak mungkin mereka mengungkapkan hal itu kepada semua orang.

"Pukul tujuh nanti Ayah dan Ibu akan datang. Kupastikan aku sudah di rumah saat mereka tiba." Seleste memberitahu. Ia sibuk memeriksa email di ponsel.

Alfred mengangguk tanpa melihat istrinya. "Kuharap mereka tak membahas sesuatu yang membuat kita tak nyaman."

"Aku akan menegur apabila mereka membahas tentang anak seperti para jemaat tadi. Memiliki anak adalah impian suami istri yang saling mencintai begitu hebat, sementara kau dan aku, kita belum memiliki perasaan itu. Terus terang, ini tidak mudah bagiku," tutur Seleste terang-terangan.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang