Chapter 6

17.6K 1.4K 164
                                    

Happy reading.
Mention kalau nemu typo.

****

Biasanya, senin pagi begini Alfred sudah pergi bekerja semetara Seleste ke kampus. Namun, dikarenakan senin ini adalah tanggal merah, alhasil suami istri itu hanya di rumah dan tak ke mana-mana.

Semalam Gero dan Delta pulang sekitar pukul sepuluh. Seleste sudah berbasa-basi agar mereka menginap saja, tapi orang tuanya menolak. Mereka pulang dengan suasana hati bahagia, senang rasanya melihat putri mereka yang juga sama bahagianya. Bahagia di depan mereka.

"Tuan mau kopi?"

"Tidak, teh saja."

Alfred ke dapur, mengambil satu buah apel di kulkas yang telah dicuci kemudian ia santap di situ. Dia sudah mandi dan rapi meski ini hari libur. Sambil memegang ponsel matanya mulai mendeteksi, menelisik ke seluruh dapur mencari-cari keberadaan Seleste.

Di mana istrinya? Alfred bertanya-tanya sendiri.

"Nyonyamu sedang keluar?" Kepada pelayan akhirnya Alfred bertanya.

"Nyonya? Nyonya sedang di samping bersama yang lain," jawab pelayan yang masih mengaduk teh milik Alfred di gelas.

Penasaran apa yang sedang Seleste perbuat di samping, Alfred kemudian menyusul ke sana. Dengan langkah santai ia menelusuri teras samping rumah mereka seraya memegang apel di tangan.

Di situ Seleste berada, berdiri di tepi teras dan tangannya menunjuk-nunjuk, memerintah dua orang pekerja lelaki dan seorang pekerja perempuan untuk merapikan pot-pot bunga mereka. Disusun sejajar sesuai jenis bunganya masing-masing, sesekali menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, tampak anggun dalam balutan gaun rumahan cantik nan santai.

"Pagi."

Suara Alfred datang dari samping.

"Pagi," sambut Seleste. Ia tengok sekilas suaminya yang mendekat, membalas juga senyum kecil Alfred dengan senyum tipisnya.

"Oh? Apa aku minta dibuatkan teh?" Lingkar mata Seleste agak melebar. Salah paham, ia pikir segelas teh yang dibawa ke samping oleh pelayannya itu dibuatkan untuknya.

Si pelayan berkedip, melirik Alfred dan sebelum ia menjawab Alfred berkata, "Itu tehku. Tapi tak apa kalau kau mau."

Hening dulu sampai beberapa detik. Seleste lalu menggeleng. "Maaf."

"Berikan untuk Nyonya," suruh Alfred pada pelayan.

"Tidak. Kau saja. Aku tidak ingin— terima kasih." Seleste tak sempat menolak, gelas teh itu sudah disodorkan dan mau tak mau ia harus menerimanya.

Mata Alfred tersenyum melihat perempuan itu. Dari posisinya ia pandangi Seleste yang kembali memerintah pekerja untuk merapikan pot-pot bunga besar lainnya lagi. Ternyata seperti ini Seleste, ternyata ia tak melulu memasang mimik ketus, ternyata ia bisa seanggun ini, dan ternyata ia memang telah sedewasa itu, batin Alfred menilai.

"Haruskah kita membuat kebun bunga di belakang?" tanya Alfred kian mendekat. Kini di samping istrinya persis ia berdiri.

Seleste tampak menimang-nimang, memegang gelas tehnya memakai dua tangan lalu ia seruput kecil. "Aku tidak bisa mengurusnya. Aku terlalu sibuk untuk mengurus kebun sementara jika kita membuatnya, aku harus memiliki rasa tanggung jawab pada kebun itu."

"Ada pekerja yang bisa mengurusnya. Anggap saja itu hiburan untuk kau di rumah jika sedang libur begini." Alfred berbicara tetapi matanya hanya tertuju ke sisi wajah Seleste. Melupakan para pekerja yang melihat aksinya hingga mereka tersenyum sendiri.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang