Chapter 48

20.8K 1.6K 525
                                    

2 CHAPTER LAGI THE END.
AYO RAMAIKAN 💋

****

"Entah sudah yang ke berapa kali. Tapi, biarlah kali ini aku bertanya lagi." Seleste membenarkan posisi duduknya. Yang awalnya ia duduk menyamping, kini ia ubah hingga berhadapan dengan Alfred.

Di aspal mereka duduk bersama, di samping mobil Alfred dan di depan rumah Seleste. Masing-masing mereka memegang cup kopi di tangan.

Sebelum bertanya Seleste menarik napas. "Sekian kali sudah kau mengajakku berkomitmen, termasuk di malam ini lagi. Tapi, Alfred, bisakah aku tahu apa yang kau pikirkan tentangku? Maksudnya, mengapa kau sangat memaksa agar aku mau menerimamu? Mengapa kau seolah begitu terburu-buru? Padahal—." Singkat Seleste mengedikkan bahu. "Padahal kau tak pernah tampak serius."

Alfred bergeming. Ia teguk minumannya, mencoba santai di saat Seleste bahkan telah menolaknya lagi malam ini.

"Apa aku salah mengajakmu menjalin hubungan?"

"Hubungan yang seperti apa maumu? Dengar. Kau bahkan tak pernah bercerita apa pun tentang dirimu sendiri. Kau tak pernah membahas mengenai sesuatu yang serius, kau hanya seperti bocah yang tergila-gila pada es krim. Kau seperti pria yang hanya sedang berusaha memenuhi obsesimu," tutur Seleste cepat.

"Bukankah segala sesuatunya harus dimulai dengan kejujuran juga keterbukaann?" Seleste melanjutkan. Ia mulai lelah. Serangkaian sarkas atau bahkan sindirannya benar-benar tak mempan pada Alfred. Pria itu masih terus menutup diri, menutupi kisah lalunya, menutupi alasannya, pun menutupi isi hatinya yang sesungguhnya.

"Jika kau tanya apa alasannya, itu karena aku menyukaimu. Apa itu belum cukup?" Alfred menatap lekat pada mata Seleste.

"Suka?" Seleste terkekeh. Menghela napas kemudian menggeleng samar-samar. Senyumnya kecut.

Kembali lagi ia membalas tatapan Alfred. "Apa hanya berlandaskan rasa suka? Untuk kategori suka pun kau seakan tidak masuk. Sikapmu lebih cocok disebut dengan penasaran, Alfred."

"Begini." Seleste menghela napas lagi, kasar. Ia letakkan kopinya di aspal. "Kau selalu datang padaku di saat kau kesepian. Kau selalu menggangguku di saat kau tak memiliki seseorang untuk kau goda dan kau permainkan. Kau selalu datang padaku sesuka-suka hatimu. Selalu, Alfred. Selalu seperti itu. Coba kau pikir, sebagai perempuan, apa aku bisa mempercayaimu?" Nada Seleste berubah lebih tegas.

"Kenapa tidak? Bukankah sudah berkali-kali aku mencoba? Seorang pria tidak akan sekeras itu mencoba jika mereka tak memiliki niat serius. Coba kau pikir lagi," balas Alfred. Mimiknya tenang.

"Niat serius? Itu lucu." Seleste terkekeh ringan. Ia lalu berdiri dan Alfred susul. Alhasil perempuan itu harus menengadah agar dapat melihat wajah pria di depannya.

"Sudahlah, Alfred. Lupakan saja. Cukup sudah dengan semua ini. Aku tidak ingin lagi berurusan denganmu. Kau tahu? Berhadapan denganmu sangat menguras energiku. Entah karena usia kita yang terpaut cukup jauh atau apa, aku tidak tahu. Yang pasti, aku lelah berhadapan denganmu." Bibir Seleste membentuk segaris tipis senyuman.

Bukan Seleste tak tahu. Justru saking tahunya dia mengenai Alfred, ia menjadi sangat lelah menghadapi pria itu yang tak pernah mau bercerita apa pun mengenai dirinya sendiri. Sedikit saja keterbukaan sama sekali tak Alfred berikan. Andai kata Alfred bersedia bercerita tentang dirinya yang masih sedang mencoba untuk melupakan Florence, andai kata dia bercerita mengenai masa lalunya yang menyakitkan, dan membutuhkan seseorang untuk membantunya bangkit dari kisah lalu meski hanya berlandaskan sedikit perasaan suka, Seleste siap membantunya.

Seleste siap menolong Alfred, dia siap menerima pria itu beserta masa lalunya. Seleste benar-benar siap. Akan tetapi, sekeras apa pun Seleste berusaha membuat pria itu membuka mulut, Alfred tetap bungkam tanpa sekalimat pengakuan apa pun.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang