Chapter 32

27.2K 2.4K 763
                                    

Yg belum vote chapter 31, mungkin bisa kembali dan tekan dulu bintangnya ya. Terima kasih.

****

Setelah Miguel berlalu pergi usai mengucapkan kalimat memancing emosi tadi, berlama-lama Alfred memandangi Seleste. Tangan istrinya sama sekali belum ia lepas.

"Kalian bertemu di mana." Datar Alfred bertanya.

Seleste mendecakkan lidah. Kenapa Miguel seperti itu? Ini sama saja dia sengaja mengundang keributan.

"Aku tidak ingin bertengkar, Alfred. Kita ke sini untuk menikmati pesta, bukan untuk berdebat." Seleste berharap Alfred melupakannya. Sayang, mana mungkin suaminya dapat melupakan begitu saja. Dia bahkan sudah tahu bahwasannya Alfred ialah pria pencemburu.

"Aku tidak mengajakmu bertengkar, Nyonya. Aku hanya ingin tahu, di mana terakhir kali kalian bertemu." Alfred meneguk tandas minumannya di gelas.

"Terakhir aku melihatnya adalah saat tidak sengaja kita juga berjumpa di hotel hari itu. Itu terakhir aku melihatnya, bahkan itu pun tidak disengaja." Seleste menjelaskan seadanya.

Sekitar tiga puluh detik Alfred hanya diam. Ia lalu mengangguk percaya. "Maaf. Aku hanya ingin tahu."

Tidak berselang lama, Miguel muncul lagi. Dia kembali dengan menggenggam ponsel di tangan kanan serta diikuti oleh seorang pria. Alfred tahu itu manajer Miguel.

Saat Miguel berpapasan dengan suami istri itu, mata Miguel melirik ke arah Seleste lalu ia tersenyum tipis. Meski canggung, Seleste pun membalas dengan senyum yang sama tipisnya sebagai tanda ramah.

"Dia tampan, benar?" Alfred ikuti punggung lebar Miguel. Dengusan tawa rendahnya terdengar. Ia amati pria itu yang tengah berdiri bersama-sama dengan beberapa orang wanita di sana.

Berlama-lama Seleste juga mengamati Miguel dari posisinya. Jika dibilang tampan, semua orang pun pasti mengakui duda tanpa anak itu memang tampan. Seperti Alfred, postur Miguel juga tinggi dan gagah.

"Karena aku tak ingin berakhir memukulnya di sini, kurasa baiknya kita pulang." Alfred melirik Seleste.

"Um. Mari pulang." Seleste setuju. Sepertinya mereka memang harus pulang. Dia takut suami besarnya membuat kekacauan di pesta ini.

Sialnya, saat setuju diajak pulang, mata Seleste masih tetap melihat Miguel di sana. Bukan apa, ia hanya heran ternyata Miguel semudah itu berbaur dengan para kaum hawa. Tapi, memang tidak aneh. Miguel itu pria hangat dan humoris, semua wanita pasti menyukainya.

"Mau pulang atau mau memandang Miguel dulu?"

Kedua mata Seleste membelalak singkat. Segera ia hanya memandang suaminya.

"Pulang," kata perempuan itu.

Alfred terkekeh. "Kau yakin? Tidak apa jika masih mau memandang atau mengobrol—"

"Alfred..." Seleste berdecak kecil, ekspresinya memelas. "Jangan memulai, tolong. Andai aku tahu akan bertemu Miguel di sini, aku tidak akan mau ikut denganmu."

Sekarang Seleste yang menggenggam tangan suaminya erat. "Mari pulang. Sebentar, kukembalikan dulu gelas minuman—."

Dalam sekejap lagi-lagi kedua orang itu menjadi pusat perhatian segelintir pasang mata. Alfred tak tahan atas gejolak cemburu yang ia rasakan secara mendadak, benar dia percaya pada pengakuan Seleste, tapi kalimat Miguel tadi benar-benar membuatnya berpikir keras; haruskah ia percaya pada pengakuan istrinya?

Muka Seleste memanas, sesaat ia blank tatkala Alfred menyambar bibirnya tanpa aba-aba. Memegang ceruk lehernya dan pria itu merunduk rendah, memperdalam pagutan mereka lalu diperhatikan oleh mata-mata yang memandang termasuk mata Miguel.

OLD MAN : HIS WIFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang